Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal terbit: 7 Desember 2014
Sebelumnya, Penantian 1000 Tahun Episode 4: Angka dari Tuhan
Ada yang salah dengan dunia ini, dunia yang kita tempati ini. Di pagi hari kebanyakan dari kita berharap agar hari ini menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Malah terkadang kita terlalu berharap, beberapa sampai overdosis. Sibuk update status, mengucapkan selamat pagi, tampak bersemangat, dan berdoa.
Sedangkan setelah itu, pada malam hari. Orang-orang menjadi sibuk mengeluh, mencaci bahkan mengutuk nasibnya sendiri. Ini bukan opini, ini fakta. Silakan saja baca hasil penelitian para ilmuwan yang dimuat di media massa itu.
Aneh! Apa yang sebenarnya telah terjadi pada kehidupan kita sehingga harus berlaku negatif seperti itu: Apakah cara berdoa kita yang salah? Cara kita menjalani hidup ini yang salah? Atau dunia ini yang sebetulnya bermasalah?
Mungkin bukan karena itu semua sehingga malam kita menjadi tidak tentram. Bukan dunia ini yang bermasalah. Melainkan sudut pandang kita. Sudut pandang kitalah yang bermasalah dalam memandang dunia!
Ceritaku ini dimulai pada bulan Juli, 8 tahun yang lalu. Musim panas tahun 2006.
Sebelumnya, Penantian 1000 Tahun Episode 4: Angka dari Tuhan
Ada yang salah dengan dunia ini, dunia yang kita tempati ini. Di pagi hari kebanyakan dari kita berharap agar hari ini menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Malah terkadang kita terlalu berharap, beberapa sampai overdosis. Sibuk update status, mengucapkan selamat pagi, tampak bersemangat, dan berdoa.
Sedangkan setelah itu, pada malam hari. Orang-orang menjadi sibuk mengeluh, mencaci bahkan mengutuk nasibnya sendiri. Ini bukan opini, ini fakta. Silakan saja baca hasil penelitian para ilmuwan yang dimuat di media massa itu.
Aneh! Apa yang sebenarnya telah terjadi pada kehidupan kita sehingga harus berlaku negatif seperti itu: Apakah cara berdoa kita yang salah? Cara kita menjalani hidup ini yang salah? Atau dunia ini yang sebetulnya bermasalah?
Mungkin bukan karena itu semua sehingga malam kita menjadi tidak tentram. Bukan dunia ini yang bermasalah. Melainkan sudut pandang kita. Sudut pandang kitalah yang bermasalah dalam memandang dunia!
Ceritaku ini dimulai pada bulan Juli, 8 tahun yang lalu. Musim panas tahun 2006.
Episode 5
Kamu Enggak Peka!
"Masalah cinta tidak disebabkan oleh kamu atau aku, melainkan oleh kita" -Ronald Frank
"Maaf. Kita udahan aja ya Mikhayla"
"Phi sudah bosen sama Ayla?"
"Mau jujur atau bohong?"
"Semua wanita juga pasti berharap mendapatkan kejujuran Phi"
"Bahkan kalau jujur itu menyakitkan?"
"Lebih baik seperti itu Phi"
"Sama saja bukan, mau bohong atau jujur, kesimpulannya pasti. Hubungan kita sampai di sini saja"
"Betul Phi. Ayla cuma ingin tahu saja alasannya. Phi juga harus tahu, apapun alasannya semua itu pasti menyakitkan"
"Padahal sudah disusun kata-kata bohongnya. Phi kira kalau diperlembut bakal sedikit meringankan. Hehe...."
"Kita lagi serius!" mimik muka Mikhayla tiba-tiba berubah. Padahal aku sudah mempersiapkan alasan yang bagus seperti: kamu terlalu baik bagiku, aku mau fokus belajar, atau aku dilarang pacaran sama orang tuaku. Tetapi sepertinya percuma.
"Heemm.... Phi udah enggak ada perasaan lagi sama Ayla...." jawabku dengan perlahan.
"...." Mikhayla hanya terdiam, tampak matanya mulai berkaca-kaca.
"Enggak tahu mengapa, tiba-tiba menghilang. Hati yang dulu cair telah menguap menjadi asap"
"Apakah tidak akan terkondensasi kembali?"
"Sudah dicoba, tapi gagal"
"Ayla bisa terima. Kalau dipaksakan juga enggak akan baik. Semoga itu yang terbaik untuk kita. Semoga Phi menemukan wanita yang lebih baik lagi"
"Sekali lagi maaf" jawabku sambil tertunduk.
Mikhayla segera beranjak dari kursi, mengambil tas lalu pergi ke luar. Di kelas ini memang cuma kami berdua. Sepulang sekolah aku mengajaknya untuk bertemu untuk membicarakan ini semua. Membingungkan memang, apakah hanya aku yang pernah tiba-tiba kehilangan rasa cinta pada pacar?
Aku masih tertunduk, lega sebenarnya. Tapi ada juga sedikit ruang untuk perasaan bersalah. Kutatap kursi tempat Mikhayla tadi duduk. Wujudnya sudah pergi, tapi kesedihannya masih tertinggal. Terlihat ada tiga buah tetesan air. Sepertinya berasal dari air matanya. Ya, kadang kita harus menangis, agar kita dapat lebih jernih lagi dalam memandang dunia, gumamku dalam hati.
Mungkin inilah wujud cinta. Cinta bukan matematika yang bisa dihitung, bukan ilmu pemerintahan yang diatur oleh pasal-pasal, bukan ilmu ekonomi yang memperhitungkan untung dan rugi, dan juga bukan ilmu agama yang hanya mempermasalahkan surga dan neraka. Cinta sulit dijabarkan, datang tak diundang, pergi tak diantar. Cinta itu bilangan imajiner
*****
Kamis pagi yang indah. Aku berjalan memasuki kelas tercinta dengan riang. Seolah telah lupa terhadap apa yang terjadi kemarin. Matahari pagi bersinar menyinari. Mengingatkan aku akan cinta. Cinta bagai matahari. Memberi tanpa mengharap kembali, tidak memilih siapa yang disinari.
"Phi sini deh" panggil Nita sambil setengah berbisik padaku.
"Eh emang hari ini ada PR?"
"Enak aja. Disangkanya aku mau nyontek"
"Ya terus ada apa?"
"Denger-denger kamu putus sama Mikhayla?"
"Hehe.... Mitos itu" jawabku sekenanya. Gosip itu memang ibarat kentut, cepat sekali menyebar, tidak terlihat, tetapi dapat kita rasakan.
"Serius, jawab!"
"Hehe.... iya sepertinya demikian. Aku mau ke sana dulu ya. Adrian sudah nungguin"
"Diem dulu. Adrian sakit, enggak masuk sekolah. Udah jangan ngeles mulu"
"Iya..... bener....."
"Ih, kamu jahat ya. Dulu mutusin aku karena bilang enggak enak hati menduakan Mikhayla. Sekarang kamu mutusin dia juga. Kebangetan!"
"Aku mutusin dia sambil minta maaf kok...."
"Maaf itu tidak akan merubah keadaan! Hatinya sudah hancur. Kalau maaf ibarat lem yang dapat menyatukan hati yang hancur tersebut, maka hatinya tidak akan pernah utuh seperti semula, akan ada bekas pecahannya"
"Kamu berlebihan deh. Itu buktinya kamu baik-baik saja putus sama aku"
"Tidak semua cewek seperti aku. Mikhayla sensitif"
"Aku minta maaf juga deh sama kamu"
"Aku enggak percaya, kamu masuk kelas aja masih cengar-cengir gitu. Ingat sama hukum karma ya!"
"Itu topeng Nita.... aku juga sebenarnya sedih"
Nita lalu terdiam. sepertinya marah. Aneh juga, padahal Nita dan Mikhayla bukanlah saudara. Kenapa harus serepot ini? Sejurus kemudian aku melanjutkan langkahku, berlalu mendiamkan Nita yang masih tampak muram.
*****
Bel istirahat telah berkumandang. Suaranya tidak cukup menggembirakan, terdengar parau. Mungkin tidak ada yang salah dengan belnya. Melainkan hatikulah yang sedang bermasalah. Aku duduk sendiri di kantin. Dari kejauhan Qua terlihat berlari-lari kecil menghampiri. Keringatnya mengucur dengan deras membasahi baju seragam putih-abu miliknya. Qua memang mengidap penyakit hiperdrosis, yaitu penyakit yang disebabkan kelebihan sekresi hormon tiroid dalam tubuh. Akibat kelebihan hormon ini, proses pembakaran lemak dalam tubuhnya berlangsung cepat, sehingga Qua menjadi mudah sekali berkeringat.
"Kamu ninggalin aku ya"
"Habisnya kamu lama nyonteknya. Udah dikumpulin yang aku juga kan?"
"Iya udah. Beres. Kamu udah lihat pengumuman belum?"
"Pengumuman apa? Sepertinya belum"
"Kamu terpilih untuk mewakili sekolah dalam lomba olimpiade sains"
"Bidang apa?"
"Biologi kalau enggak salah"
"Sama kaya waktu kelas X ternyata"
"Dulu menang?"
"Dulu peringkat 7 di Kabupaten"
"Enggak lolos ke provinsi?"
"Enggak, yang lolos ke provinsi itu peringkat satu sampai tiga"
"Tahun ini berarti bisa lebih baik lagi"
"Susah. Aku terkutuk sepertinya. Sejak SD sudah sering ikut lomba dan tidak pernah tembus ke tingkat provinsi"
"Kamu kurang berusaha. Tapi gimana ya caranya pintar kayak kamu?"
"Ambisi saja"
"Ambisi karena apa?"
"Aku kan enggak punya kelebihan apapun. Coba pikirkan lagi, ganteng enggak, kayak enggak, gaul enggak, baik enggak"
"Terus?"
"Aku pikir tujuan manusia hidup hanya satu, yaitu mempertahankan eksistensinya. Manusia selalu ingin diakui keberadaannya. Baik oleh keluarga, atau lingkungan. Oleh karena itu aku harus punya kelebihan agar dibanggakan. Satu-satunya yang bisa aku usahakan adalah dengan menjadi pintar"
"Oh...."
"Kamu sebenarnya lebih hebat lagi Qua" pujiku padanya.
"Hebat kenapa?" tanya dia dengan heran.
"Kamu menurutku hanya punya satu kekurangan dalam hidup ini?"
"Apa memangnya?"
"Kekurangan kamu itu hanya satu, yaitu tidak punya kelebihan apapun. Haha...."
"Haha.... kurang ajar"
"Eh udah bel masuk, sekarang ulangan harian fisika ya?" tanyaku pada Qua sambil mengingatkan.
"Nanti nyontek ya"
"Hehe.... seperti biasa. Rp 500 untuk soal PG dan Rp 1.000 untuk soal essay"
"Gampang"
Aku dan Qua memasuki kelas. Qua sekarang duduk di sampingku. Menggantikan posisi Adrian yang tidak masuk sekolah karena sakit. Kami menyiapkan alat tulis, dan memasukkan LKS dan buku pelajaran Fisika ke dalam laci. Aku sedikit menjelaskan mekanisme menyontek teknik terbaruku pada Qua. Dia sepertinya cukup paham dengan apa yang aku jelaskan. Aku sudah memprediksi ulangan harian kali ini akan berlangsung sangat sulit. Jadi perlu kerjasama yang apik antara aku dan Qua.
Delapan menit tujuh detik kemudian Ibu Erna memasuki kelas. Dengan sigap dia membagikan kertas soal. Soal yang tertera hanya ada lima butir. Sambil menyiapkan lembar jawaban aku berbisik pada Qua, "Ada kabar baik dan buruk nih"
"Apa kabarnya?"
"Mau kabar baik dulu atau kabar buruk dulu?"
"Kabar baik dulu saja"
"Soalnya cuma lima buah"
"Oh, aku belum lihat. Masih menyiapkan lembar jawaban. Terus kabar buruknya apa?"
"Kabar buruknya ini soal essay semua"
"Terus kamu enggak bisa jawab?"
"Bukan itu masalahnya. Aku takut kamu enggak bisa bayar"
"Haha.... kurang ajar. Uang aku punya"
"Sip"
Kutulis angka satu pada lembar jawaban yang telah aku siapkan, lalu diteruskan dengan menuliskan diketahui, ditanya dan dijawab. Aku lalu mengalihkan perhatian pada lembar soal. Sial, ini soalnya susah, gumamku dalam hati.
Aku lalu melanjutkan menulis angka dua pada lembar jawaban. Lalu kembali kubaca soal. Kali ini aku mulai berkeringat, soal ini ternyata susah juga. Lalu kulanjutkan membaca soal nomor tiga, kali ini mendadak kepalaku jadi pusing. Kulanjutkan membaca soal nomor empat. Kali ini aku merasa menjadi meriang. Lalu aku beranikan membaca soal terakhir, soal nomor lima. Malaikat juga bisa terkena stroke kalau dikasih soal ini, gumamku dalam hati. Seenak perutnya banget ini guru. Masuk ke kelas jarang, waktu ulangan soalnya susah sekali.
Dengan jiwa kepemimpinan tinggi aku mengintruksikan Qua untuk membuka LKS yang halamannya telah aku tentukan. Lalu aku menyuruhnya mencatat rumus yang dibacanya. Sebenarnya soal-soal itu menjadi mudah ketika kita sudah hapal rumusnya. Aku yang mensintesis soal dan Qua yang mencari contekan rumusnya. Kerjasama yang kompak, rapih dan keren. Dalam waktu 80 menit kami bisa mengerjakan semua soal-soal itu.
"Kamu bisa ngerjain soal-soalnya?" tegur Nita padaku.
"Ciiee.... udah enggak marah lagi nih?"
"Sebenernya masih. Tapi ini lebih penting. Kamu nomor enam apa jawabannya?"
"Hah? Nomor enam? Bukannya cuma lima soal ya?"
"Ada sepuluh soal ah. Nomor enam-sepuluh ada dibelakang. Dibalik aja kertasnya"
"Huah.... aku sepertinya tidak melihatnya"
"Haha.... hukum karmanya sudah berlaku tuh. Gara-gara mutusin anak orang seenaknya"
"Enggak ada hubungannya tahu" jawabku dengan ketus. Mungkin sebaiknya aku rahasiakan masalah ini pada Qua, gumamku dalam hati.
(Bersambung)
Teknik mencontek yg pernah saya ketahui, yaitu, semua rumus dan contoh soal sudah ditulis duluan di kertas coretan. Seolah-olah menyobek lembaran kosong, tahunya lembar contekan. :p
BalasHapusOuh seperti itu ya. Keren sekali. Mungkin nanti saya akan membuat artikel tentang cara menyontek yang baik dan benar.
HapusHahaha. Boleh juga, kalau bisa selalu update tekniknya. Sehingga bisa menambah wawasan utk para pengajar nantinya.
HapusIya... Iya sedang diproses untuk pembuatan artikelnya.
Hapus