Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal terbit: 30 April 2014
Beberapa komentar dari pembaca cerpen ini:
“Penulis gila. Intinya contoh saja Nabi Muhammad”
Samadin bin Pudin.
“Didiklah anakmu lebih baik dari masa lalumu”
Iskandar Nugraha bin Suganda.
“Watak pemeran utamanya sepertinya seperti watak
orang yang sangat saya kenal. Tapi siapa ya? Intinya kisah ini tidak teladan”
Rofa Y. A. bin Misna Sudjana (penulis).
KOMA
“Selamat
Pak, anak Bapak berjenis kelamin laki-laki”
“Kesinikan
Suster, biar saya gendong” dengan segera Suster yang membantu memandikan anakku
yang baru lahir memberikan bayi mungil yang dipegangnya padaku. “Lihat Mah, lucu sekali anak kita!”.
Istriku hanya tersenyum, terlihat begitu tulus, cukup merelakan sisa tenaganya
untuk memberikan garis tipis di sela-sela bibirnya. Oh, sungguh manis sekali.
“Dia
mirip sekali dengan kamu!” ucap istriku dengan suara yang begitu lemah.
“Mirip
memangnya?” segera aku alihkan pandanganku ke arah mertuaku yang sedari tadi
sudah menunggu giliran untuk menggendong anakku layaknya burung pemakan bangkai
yang menunggu giliran untuk memakan sisa-sisa daging dari hewan hasil buruan
binatang lain. “Tapi untunglah hidungnya mirip denganku. Jika mirip dengan
Mamahnya yang hidungnya mancung, bisa-bisa Ayah curiga jika anak ini adalah
anak tetangga”.
Sunyi.
Sepi. Subhanallah, ternyata ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Sepertinya
dengan sukses aku telah mengacaukan lagi salah satu acara sakral dari dua acara
sakral yang pernah aku alami. Dahulu juga aku pernah melakukannya ketika pesta
pernikahan kami. Aku gagal mengucapkan Qabul. Awalnya dinyatakan dengan biadab
jika Qabul yang aku ucapkan tidak sah. Aku tak pernah tahu alasannya, mungkin
karena ucapan Qabulnya terputus dengan kata ‘Eu...’ selama 2,15 detik. Lalu di
pengulangan yang kedua aku malah salah menyebut nama istriku. Ketiga kalinya
aku salah menyebut kata bin yang seharusnya aku sebut binti dan Alhamdulillah
yang keempat kalinya kembali gagal lagi karena aku lupa jumlah uang dari mas
kawinku karena aku sengaja menggunakan angka yang memilki kredit nilai yang
cukup unik. Beruntungnya yang kelimanya berhasil disahkan setelah aku ingat
jika uang yang aku berikan sebagai mas kawin adalah sejumlah Rp.9.815.950,
kesuksesan ini juga tak terlepas atas dukungan sakti dari mata ayahku yang
mendadak liar seperti akan meloncat dari sarangnya.
“Iya
lucu” terdengar suara istriku yang begitu lembut memecah semua gumpalan ingatan
burukku. “Rifki, kamu sering bilang, kadang kita membuat keputusan yang tepat
tapi tidak pada waktu yang tepat. Itu lelucuan yang sangat baik, tapi tidak
untuk saat ini. Kamu sudah menjadi Ayah sekarang, sebaiknya kamu lebih baik
lagi dari sebelumnya”
“Maaf...”
Kucondongkan
tubuhku agar mulutku mendekati telinga istriku. “Hehe... Iya siap Bos. Aku juga
akan bekerja lebih giat lagi supaya bisa membeli rumah. Supaya terjauh dari Ibumu.
Ibumu sepertinya benar-benar ingin membunuhku secara perlahan”
“Kok kamu bisa berpikiran seperti itu sih?”
“Dia
tahu aku takut ketinggian, tapi dia memberikan kita tempat tidur di lantai
kedua. Terus dia memiliki hobi menambahkan cabe rawit pada setiap masakan,
bahkan jika aku yang memasak sekalipun. Padahal dia tahu kalau aku tidak suka
masakan pedas”
“Ngaco.
Beraninya bisik-bisik. Nanti aku sampaikan ke Ibuku tentang apa yang kamu
katakan”
“Hehe...
Bercanda sayang”
*****
Banyak anak, banyak rezeki. Ternyata
aku berhasil membuktikan kemanjuran hadist itu. Walaupun baru mempunyai anak
satu tapi gara-gara kelahiran anak pertama kami, karirku semakin melesat sebagai
seorang penulis, peneliti dan seorang pengajar. Malah, setelah anak kami
berusia dua tahun, secara spontan aku dipromosikan sebagai Kepala Diknas kabupaten.
Sampai di usianya yang empat tahun.
Berdasarkan metode yang aku terapkan, anakku telah mampu membaca, menulis dan
melakukan perkalian sederhana. Bahkan dia sering meniruku mengambil lembaran
koran di depan rumah untuk membacanya dan karenanya timbul ribuan pertanyaan
yang dia kemukakan dari apa yang dia baca. Sulitnya lagi ketika dia memaksa
untuk segera disekolahkan ke SMA dengan alasan karena seragam anak SMA dianggap
sangat menarik baginya, begitu keren.
Saat
hari ulang tahunnya yang ke lima, aku undang semua sanak saudaraku dan istriku
untuk menghadiri pesta ulang tahunnya. Saat acara berlangsung, anakku begitu
bersemangat untuk menunjukan bakat yang dimilikinya. Aku begitu sibuk menjamu
tamu undangan yang datang dan begitu juga istriku, dia terlihat sedang begitu
fokus dengan konsumsi yang harus disiapkan dalam jamuan. Tiba-tiba anakku
mengahampiri dan bergelantungan di kakiku. Dia merengek ingin segera aku
gendong dan mengajakku untuk menemaninya tidur. Sontak saja aku geram, karena
acara peniupan lilin akan segera dimulai, selain itu akupun masih sibuk menjamu
sanak saudara yang mengajak untuk berbicara berbagai hal. Dalam tekanan, aku
berusaha melepaskan dekapan anakku di kakiku, kupegang erat pergelangan
tangannya dan kutatap dengan tajam matanya. “Cobalah diam sebentar, ayah sedang
sibuk. Pergilah ke Mamah dan jangan ingin tidur untuk saat ini”.
“Ayah...”
“Sudah
jangan manja. Jangan ganggu Ayah!” tanpa sadar, anakku terhempaskan oleh tangan
kananku yang dari tadi menggenggam tangan kanannya.
Semenjak
itu sikap anakku menjadi berubah. Dia menjadi pembangkang kecil. Apa yang aku
larang pasti dia lakukan. Dia menjadi seorang yang pendiam, sering berdiam diri
dan menyibukan diri dengan teka-teki, rubik, sodoku dan teman khayalannya.
Lebih parahnya lagi dia tak pernah mau lagi berbicara denganku. Untuk setiap
pertanyaan yang aku ajukan pasti dibalas dengan anggukan atau gelengan kepala.
Anakku
berubah menjadi prototipe yang aku khawatirkan, yaitu seperti Sidis. Bocah
Yahudi ajaib yang menjadikan koran sebagai teman sarapan paginya di usia 3
tahun, lalu mampu menulis buku tentang anatomi di usia 7 tahun dan masuk
universitas pada usia 11 tahun. Sidis yang seharusnya dan diprediksi banyak
orang akan mampu melebihi kehebatan Albert Einstein ternyata menjadi seorang
pesakitan. Dia meninggal di usia 40-an, dalam keadaan miskin. Padahal seharusnya
di usia 40 dia berada dalam masa emasnya. Memang kehebatan anakku tak seperti
Sidis, tapi aku takut dia juga akan mengalami hal yang serupa; bad ending.
Anakku
berhasil menempuh semua jalur pendidikan dengan sangat sempurna tanpa cacat.
Setelah selesai S1 dia melanjutkan pendidikan ke S2. Karena khawatir, aku dan
istriku segera mencarikan istri untuk anakku. Dia benar-benar jarang sekali
bergaul. Jangankan teman wanita, teman lelaki dari sekolahnya tidak pernah dia
bawa ke rumah.
Akhirnya
semuanya lancar. Anakku mau menikah dengan wanita yang aku dan istriku pilihkan
untuknya. Tapi sikapnya tak pernah berubah. Malah dia semakin berusaha
mengalihkan segala kewajibannya untuk bersosialisasi dengan segala
pekerjaannya. Bahkan, sampai dia mempunyai anak yang berarti cucuku.
Sampai
suatu ketika, saat kami berkunjung ke rumah anakku untuk merayakan ulang tahun
cucuku yang ke lima. Anakku sedang duduk di sofa hanya untuk menemani kami
orang tuanya yang datang berkunjung. Tak lebih baik dari patung apa yang ditunjukan
anakku. Dari pintu yang terletak di sebrang ruang tamu, cucuku yang lama
kunantikan akhirnya muncul juga. Terlihat sikunya berdarah.
“Lihat,
cucumu mirip denganmu. Dia memiliki hidung yang pesek. Tidak mancung seperti
Ibunya atau seperti aku. Bisa-bisa kalau mancung dianggap anak tetangga”
“Kenapa?
Ayo ke sini, duduk disamping kakek, biar kakek obati lukanya” Aku acuhkan
ucapan istriku dan berusaha membujuk cucuku agar mendekatiku. Cucuku terdiam.
Dia mengarahkan matanya ke arah ayahnya.
“Ayah,
lihat aku tadi terjatuh. Sikuku berdarah, tapi aku tak menangis ayah. Hebat
kan!” Anakku terdiam, tak memperlihatkan sedikitpun mimik yang diharapkan oleh
anaknya. “Ayah, capek. Gendong Yah, ngantuk”
“Sudah Ayah
bilang kan kalau kamu jangan main di luar. Cepat ke si Mbok, mandi dulu baru
boleh tidur”
“Tapi digendong
kan Yah?”
“Ayah sedang
sibuk ada Kakek dan Nenek”
Sekejap
seluruh ruangan menjadi gelap. Membawaku kembali ke masa yang terdahulu, yang
diciptakan sebelum masa kini. Disebuah ruangan yang terdapat pesta ulang tahun
di dalamnya. Terlihat seorang anak yang meminta ayahnya agar dirinya digendong
menuju kamar karena ingin tidur. Sejurus kemudian, penyesalan yang sangat
menyakitkan memancarkan auranya. Sepertinya tidak, itu bukan salahku. Memang
sudah pada dasarnyalah anakku berwatak demikian. Aku tak boleh menyesal apalagi
menangisi semua yang telah terjadi, bukankah banyak orang tua yang memukul
anaknya? Tapi semuanya berjalan normal saja. Aku rasa jika hanya gara-gara aku
tak mau menggendong anakku karena aku sibuk itu adalah hal yang wajar.
“Menangislah
Kakek” istriku menggenggam tanganku. “Kamu sekarang sudah menjadi kakek-kakek.
Dulu kau hempaskan anakmu ketika dia berusia lima tahun. Aku suruh kau
memperbaikinya, kau malah terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Lalu sekarang,
lihatlah anakmu yang begitu asing dengan anaknya”
Istriku
menghela napas panjang sampai bercucuran air matanya. “Ya Nabi, Aku ingin anak
dan suamiku menirumu. Engkau yang menggendong cucu-cucumu, Engkau yang bermain
berkejar-kejaran dengan mereka, Engkau yang menengok anak yang burung
peliharaannya mati dan Engkau juga yang berkata ketika seorang ibu mengambil
paksa anaknya ketika Engkau gendong karena takut anaknya pipis dipangkuanmu
‘Bekas najis dari air pipis mungkin bisa kuseka, tapi apakah aku bisa
menggantikan saraf halus di otaknya yang terputus?’”
Istriku
menatapku dengan linangan air matanya dan aku melihat anakku mencucurkan air
matanya. Tuhan, inilah puisi terindah yang pernah aku dengar sebagai seorang
penulis.
“Kalian
berdua. Marilah kita mulai kembali. Kakek, lakukanlah sebelum ajal menjemput
kita berdua yang sudah diambang pintu kematian ini. Anakku, lakukanlah ini demi
masa depan anakmu. Belum terlambat. Tuahanpun akan tersenyum dan
malaikat-malaikat akan bersenandung akan doa jika kita mampu merajut lagi
semuanya dengan sebaik-baiknya. Marilah kita perbaiki semuanya”
Aku
beranjak dari tempat dudukku, menghampiri tempat duduk anakku. Kupegang kedua
pundaknya. “Maafkan Ayahmu ini...”
*****
“Rifki
bangun...”
“Eh,
dimana aku?”
“Hehe...”
“Malah
tertawa, seharusnya mikir. Makanya jangan begadang” kuacuhkan semua yang
diucapkan oleh temanku. Selayak sebuah kenyataan yang terpasung, mimpi yang
benar-benar menyeramkan. Keringat berseluncur di leherku menandakan sebuah proses
yang panjang tentang alam bawah sadar. Aku berjanji tak akan melakukannya;
koma.
Gambar Ilustrasi
0 komentar :
Posting Komentar
Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat