Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal terbit: 2 Juli 2014
Pemilihan umum yang akan dilangsungkan pada tanggal 9 Juli 2014 akan berlangsung beberapa hari lagi. Satu hari yang singkat, tetapi menentukan arah masa depan dari negara ini. 5 menit di bilik suara menentukan nasib bangsa ini 8.670 jam kemudian. Gila kan?
Ada sekitar 10-15% orang yang masih bimbang memilih calon presiden yang mana. Istilah kerennya swing voters. Bisa pilih No. 1, No. 2 atau golput. Sebenarnya tidak terlalu bermasalah siapa yang menang nanti, karena saya yakin siapapun pemenangnya dialah yang terbaik. Tapi yang bermasalah itu tentu yang golput. Kapan lagi coba ada momen setidak logis demokrasi? Ketika suara profesor dihitung 1, suara pejabat dihitung 1, suara orang kaya dihitung 1, suara orang miskin dihitung 1, suara preman dihitung 1 dan suara orang buta huruf dihitung 1 juga. Jadi kapan lagi ada momen dimana kita yang bodoh, miskin, dan rakyat jelata setara dengan profesor, pejabat dan orang kaya? Bisa dikatakan yang pilih No. 1 memang bodoh, yang pilih No. 2 memang bodoh, tapi yang golput, lebih bodoh lagi dari keduanya.
Saya lahir dari rahim keluarga PNS, dibesarkan dengan ideologi ke-Golkar-an. Boleh dikatakan saya ditumbuhkan untuk menjadi seseorang yang fanatik. Tapi saya sadar, kefanatikan dalam bentuk apapun selalu menyebabkan kehancuran. Percaya atau tidak. Hal ini sudah banyak contohnya. Seperti ketika dunia masuk ke dalam abad kegelapan. Apa coba penyebabnya? Karena kefanatikan orang eropa terhadap gereja. Bahkan, fanatik terhadap kebenaran juga bisa menyebabkan kehancuran. Kebenaran kadarnya masih rancu, masih multi tafsir. Apalagi antar agama.
Saya menganalisis, mencari berbagai sumber untuk menentukan siapa yang saya pilih. Dua-duanya tidak saya percaya. Hanya Gus Dur, Habibie, dan Anis Baswedan yang saya percaya sebagai pemimpin. Tapi tetap saja saya harus memilih. Demi bangsa ini. Walau nilai suara saya hanya dihitung 1.
Membingungkan memang. Prabowo menarik dengan kesantunan, wibawa dan orasinya. Jokowi mengagumkan dengan kesederhanaan, kreatifitas dan pendekatannya. Saya orang yang pemikir, terbuka dan menghargai perbedaan. Bagi saya tidak ada masalah dengan agama, suku dan jenis kelamin untuk seorang pemimpin. Selama dia mampu, akan saya dukung. Tapi akhirnya setelah menganalisis seobjektif mungkin saya lebih mengedepankan Pak Jokowi. Mengapa demikian?
Mari Kita Lihat Pendukungnya
Jokowi dan Prabowo sama-sama punya masalah dalam hal ini. Jokowi didukung oleh beberapa orang yang terkait kasus HAM, ada Wiranto dan Hendropriyono. Masalah antek barat bagaimana? Jelas tidak ada bukti yang sah. Hanya berupa cerita fiktif belaka. Tapi Prabowo juga bukan tanpa masalah. Dia bermasalah dengan HAM, pendukungnya ada yang bermasalah dengan Lapindo (Golkar), korupsi dana haji (PPP), diskriminasi hukum (PAN), dan kasus sapi (PKS).
Coba ingat filosofi ini: Orang baik pasti akan didukung oleh orang baik, dan orang tidak baik akan didukung juga oleh orang tidak baik. Ada 2 orang yang mempengaruhi penilaian saya, mereka adalah Anies Baswedan dan Dahlan Iskan. Mereka saya lihat orang-orang yang penilaiannya sudah matang. Lalu kenapa mereka memilih Jokowi? Tidak mungkin mereka memilih asal-asalan.
Lalu mari kita bedakan antara kampanye hitam (fitnah) dan kampanye negatif (fakta tetapi berisi hal buruk seseorang). Dalam hal kampanye hitam siapa yang paling sering diserang? Walaupun memang ini kelakuan oknum tapi seobjektif mungkin saya nilai Jokowilah yang paling banyak diserang. Mengapa hal itu terjadi? Karena sulit menyerang dia dengan kampanye negatif! Dimulai dari buletin obor rakyat, keturunan tionghoa, antek amerika, boneka Megawati, dll. Apakah ada faktanya? Tapi percuma saja. Orang awam dan simpatisan yang radikal akan tutup mata.
Mari Kita Lihat Masa Lalunya
Memang sekelam apapun seseorang, masa depannya masihlah tetap suci. Tapi tetap saja, masa lalu merupakan pondasi dasar terciptanya masa depan. Prabowo ada masalah dengan dengan kasus HAM, seorang jenderal yang dikatakan sangat tempramental. Bahkan dia diberhentikan. Apapun alasannya, apakah ada orang yang diberhentikan karena kinerja atau sifatnya yang terlalu baik? Sedangkan Jokowi, bersih. Jikapun memiliki kesalahan, itu karena dia dilahirkan dari lingkungan keluarga miskin. Sehingga gayanya seperti sekarang ini, yang sering disebut pencitraan.
Oh saya hampir lupa, Jokowi tidak amanah. Loncat sana, loncat sini. Tapi mari kita melihat dengan pendekatan yang seadil-adilnya. Jika meninjau Prabowo dari sudut pandang hukum, mari kita meninjau Jokowi juga dari sudut pandang hukum. Tidak ada hukum yang melarang apa yang dilakukan oleh Jokowi. Tapi memang dia telah melakukan hal yang tidak etis.
Mari Kita Prediksi Masa Depannya
Banyak orang yang menginginkan perubahan, tapi banyak orang juga yang ingin orang lainlah yang melakukannya. Mengapa? Karena perubahan itu menyakitkan. Perubahan juga tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di dalam sistem. Prabowo berada di dalam sistem orba dan Jokowi berada pada generasi baru. Bagaimana mungkin prabowo ingin melakukan perubahan jika dia merupakan bagian masa lalu? Penilaian dan supervisinya terhalang dinding-dinding orba.
Teori pendidikan juga mengajarkan saya bahwa kecenderungan pemikiran dan karakter suatu generasi akan berkembang setiap 5 tahun. Akan mengalami perubahan. Usia jokowi 53 tahun dan Prabowo 62 tahun. Berarti bisa dikatakan ada perbedaan 2 generasi perkembangan pemikiran dan karakter. Generasi muda lebih cenderung terbuka, kreatif, demokratis dan memiliki tenggang rasa yang tinggi.
Visi dan Misi Keduanya
Di sini ada pertarungan antara "kebocoran" lawan "revolusi mental". Saya yakin kebocoran keuangan negara terjadi bukan karena sepenuhnya salah sistem. Tetapi sebagian besar karena salah orang-orangnya yang bermental jahat, korup dan tidak berperasaan.
Aristoteles pernah berkata,"kebodohan adalah bapaknya kejahatan dan kemiskinan". Menurut aristoteles, pendidikan adalah hal yang paling penting yang dibutuhkan sebuah tatanan masyarakat. Di Indonesia ini sudah banyak orang pintar, yang masih sedikit itu orang jujur yang bermental kuat. Oleh karena itu saya sangat setuju sekali dengan filosofi revolusi mental yang lebih mementingkan pembangunan karakter sumber daya manusia indonesia, dibandingkan mempermasalahkan kebocoran dan pendudukan sumber daya alam oleh asing. Karena pendidikan adalah bapaknya peradaban. SDA bisa habis, SDM tidak ada batasnya.
Tulisan ini dibuat tanpa maksud untuk memaksa seseorang untuk memilih seperti apa yang saya pilih. Ini hanya opini dari hasil analisis saya terhadap data-data yang saya dapatkan dari berbagai pihak. Kedua pihak ini tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi marilah kita memilih secara objektif, memilih orang terbaik yang bisa menjadi Rahmatan lil Alamin. Jangan memilih berdasarkan radikalisme, kebencian, hubungan kesukuan, dan keagamaan.
Gambar Ilustrasi
0 komentar :
Posting Komentar
Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat