Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 23 November 2014

[Cerbung] Penantian 1000 Tahun Eps. 3: Hipotermia

Tanggal terbit:  23 November 2014

Sebelumnya, Penantian 1000 Tahun Episode 2: Dua Cinta dalam Satu Kelas


Banyak sekali yang para ahli, atau orang yang tampak ahli coba katakan tentang definisi hidup. Mereka berkata: hidup adalah pilihan, hidup adalah pengorbanan, atau hidup adalah sebuah perjuangan. Menurutmu mana yang benar? Semuanya mungkin benar, atau jangan-jangan semua definisi itu sebenarnya salah. Menjadi salah karena nurani dan intelektualitas kita belum mampu menjangkau kebesaran makna hidup.


Manapun definisi yang kita pilih mengenai hidup bukanlah sebuah masalah besar. Tidak ada pilihan yang salah. Sebuah pilihan menjadi salah karena persepsi orang di sekitar kita. Pilihan dipilih untuk dijalani. Jangan pernah menyesal! yang salah itu, ketika kita tidak bisa menjalani apa yang telah kita pilih.


Ceritaku ini dimulai pada bulan Juli, 8 tahun yang lalu. Musim panas tahun 2006.


Episode 3
Hiportemia

"Cinta lebih mudah dirasakan daripada harus dimengerti, itulah mungkin mengapa cinta lebih butuh balasan dibandingkan alasan" -Pidi Baiq

Jika kebanyakan orang menunggu datangnya pagi. Hanya untuk mengucapkan selamat pagi, atau hanya untuk kembali berharap meratapi. Aku berbeda. Sudah lama aku menunggu senja. Kenapa? Karena hari ini, pada waktu yang Tuhan telah restui, Mikhayla akan menjawab pertanyaanku: maukah kamu menjadi pacarku?


Deg-degan, gugup, dan takut, semuanya bercampur jadi satu. Berbaur antara satu dengan yang lainnya, homogen, dan pada akhirnya membentuk larutan. Sehingga sulit dibedakan lagi yang mana perasaan dan yang mana pemikiran.


Sudah sejam yang lalu aku duduk di meja kerja ayah. Sedang pura-pura mengerjakan PR, padahal aku sedang menanti telepon berdering. Meja kerja ini masih sama seperti dulu, seperti enam tahun yang lalu. Kursinya dari kayu jati, tidak ada bantalan busanya. Sehingga tidak terlalu nyaman dipakai untuk duduk berlama-lama. Mejanya juga terbuat dari kayu jati, cukup besar. Di atasnya ada tumpukan buku, telepon rumah dan sebuah mesin ketik. Semuanya tampak pikun, tidak pada tempatnya.

"Kring.... kring...." bunyi suara telepon mengusik kegiatanku. Suaranya sederhana, tak tahu terletak di nada apakah. Do? Re? atau Mi? Entahlah....yang jelas, frekuensinya terletak pada rentang 20-20.000 Hz. Itulah alasannya kenapa aku bisa mendengarnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, segera kuangkat telepon tersebut.


"Hallo. Di sini dengan costumer service jasa asuransi. Ada yang bisa saya bantu?" sapaku padanya.

"Ouh.... maaf.... salah sambung" jawab Mikhayla dengan canggung.
"Hehe.... enggak. Kamu enggak salah sambung. Ini aku, Phi"
"Hehe.... terus kenapa tadi kamu berpura-pura jadi costumer service jasa asuransi?"
"Soalnya.... soalnya.... soalnya aku ingin mengasuransikan hati kamu, supaya enggak terluka lagi"
"Hehe.... segitunya"
"Kamu enggak tahu sih. Aku duduk di depan telepon sudah satu jam. Bisul di pantat aja sampai pecah"
"Ih.... serem.... udah SMA masih bisulan"
"Hehe.... walau bisulan juga tapi kamu suka kan?"
"Ada aja"
"Jadi, bagaimana jawabannya?"
"Emm.... gimana ya...." jawab Mikhayla tampak ragu, atau sebenarnya berpura-pura ragu.
"Sebenarnya kamu harus menerima aku" dikteku padanya.
"Kenapa?"
"Soalnya hanya aku yang bisa membahagiakan kamu"
"Kalau enggak bahagia juga?"
"Emm.... itu berarti kamu salah pilih orang" jawabku sekenanya.
"Ye.... gimana sih, katanya hanya kamu. Jadi ragu"
"Iya, hanya aku. Dengan syarat kamu harus percaya padaku"
"Aku percaya"
"Apa?" tanyaku seolah-olah tidak mendengar dengan jelas jawaban dari Mikhayla.
"Iiihh.... Mikhayla percaya sama Phi" jawab Mikhayla dengan perlahan dan sedikit meninggikan suaranya. Sengaja mungkin, biar bisa terdengar dan dikenang.
"Hihi.... jadi mau jadi pacar Phi?" jawabku sambil tersenyum bahagia
"Iya. Tapi jangan sakiti Mikhayla ya"
"Iya enggak akan. Kita resmi pacaran ya"
"Hihi.... iya. Senang deh"
"Tapi jangan bilang siapa-siapa ya"
"Kenapa?"
"Biar hanya aku, kamu dan Tuhan yang tahu"

"Iya sip"
"Udah dulu ya, takut bayar teleponnya mahal"
"Ini kan aku yang telepon Phi...."
"Ouh lupa. Hehe.... udah aja pokoknya. Jangan lama-lama. Ini PR belum selesai"
"Hehe.... gitu ya. Kalau begitu selamat belajar"
"Iya, Ayla juga belajar yang rajin ya"
"Dah...."
"Dah juga"

Kututup teleponku dengan perlahan dan bibir yang masih tersenyum. Beranjak dari kursi, aku melompat sejujur-jujurnya tanpa skenario. Semuanya tampak indah di malam ini. Cahaya lampu juga seolah bermetamorfosis menjadi cahaya kunang-kunang. Begitu damai, cerah, tapi tetap dingin. Sampai suara seorang wanita membuyarkan semua suasana yang tercipta secara sepontanitas itu.


"Lagi ngapain kamu Phi?" sesosok wanita terlihat berdiri di dekatku, dia adalah penguasa kehidupanku: mamah.

"Hihi.... mamah dari tadi di sana?"
"Mamah di sini sedari 5 menit yang lalu"
"Ngapain?"
"Ngawasin kamu, lagi ngerjain PR atau lagi teleponan"
"Hehe.... tadi yang telepon teman mah?"
"Cewek atau cowok?"
"Cowok mah"
"Eh.... kamu masih normal kan?"
"Maksudnya?"
"Soalnya tadi mamah dengar kamu resmi pacaran sama temen kamu yang kamu bilang cowok itu" jawab mamah sambil berlalu.

*****

Sudah tiga hari lamanya aku berpacaran dengan Mikhayla. Semuanya tampak biasa, normal dan wajar. Tidak ada yang berubah dengan habitat kehidupanku. Bumi masih berputar mengelilingi matahari, waktu rotasi bulan masih 29,5 hari, manusia bernapas masih menghirup oksigen, dan satu hari masih 24 jam. Semuanya tampak sama, kecuali sikapku.

Mempunyai pacar sekelas ternyata tidak enak. Kita sebisa mungkin menjaga tingkah laku kita agar tidak membuat pacar kita menjadi ilfil. Padahal seharusnya, kalau kita yakin dia benar-benar cinta, kita tidak usah khawatir tentang hal itu. Tapi itulah trend di tahun 2000-an. Kata ilfil begitu populer sehingga banyak dipraktikkan.

Siang hari di saat jam istirahat Nita memanggilku. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Mencoba menebak apa yang ingin dia sampaikan. Mungkin karena masih euforia, sehingga otakku tidak bisa berpikir jernih. Kuberjalan menuju mejanya. Kutuntun pantatku untuk duduk senyaman mungkin di kursi kayu.

"Phi, kamu masih ingat sama ucapan kamu yang dulu?"
"Yang mana ya? Maksudmu saat aku bilang aku minta nasi kalau kamu bawa bekal makan siang?"
"Ihhh.... bukan"

Aku berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ngingat kembali ucapan kurang ajar apa yang pernah aku ucapkan pada Nita sampai dia berbicara seperti itu. Apakah aku telah menghina dirinya? tanyaku dalam hati.

"Seminggu yang lalu. Di ruang PMR Phi" Nita mencoba memberikan bocoran.

Aku masih terdiam. Mencoba mengingat lagi apa yang terjadi seminggu yang lalu di ruang PMR. Sejurus kemudian, aku akhirnya ingat apa yang terjadi di ruang PMR. Waktu itu aku menembak Nita. Tapi aku masih berusaha terlihat lupa, tentu saja untuk menyelamatkan diri.

"Kamu dulu nembak aku Phi" ucap Nita, tampak mulai kehilangan kesabaran. "Kamu masih ingat kan? Ucapan kamu masih berlaku kan?"

Ingin rasanya aku amnesia. Otakku memberikan ide agar aku pura-pura gila, atau berbohong jika aku punya penyakit ganas dan umurku tinggal beberapa bulan lagi. Tapi logika menyadarkanku, ini adalah kehidupan nyata, bukan sinetron.

"Hehe.... iya masih berlaku" jawabku dengan penuh pertimbangan. "Jadi gimana jawaban kamu?"
"Eee...."
"Kalau enggak mau juga enggak apa-apa kok Nit" aku memotong jawaban Nita. "Aku bisa mengerti. Hehe.... Jangan dipaksakan kalau emang kamu enggak suka sama aku" mencoba menyadarkan Nita sebelum dia menjawab pilihan yang buruk.
"Nita mau kok jadi pacarnya Phi" jawabnya sambil tertunduk.
"Hehe...." entah apalagi yang harus kukatakan. Kalau mengaku bahwa aku sudah jadian sama Mikhayla, nanti aku dianggap bajingan. Walaupun memang sebenarnya demikian. Belum lagi jika nanti Nita malah marah mendengar pengakuanku itu, bisa-bisa usiaku terhenti di angka 16. Mungkin inilah takdir dari Tuhan agar aku belajar membagi cinta, pikirku saat itu.
"Kok Phi enggak bahagia sih?"
"Hehe.... bahagianya pakai banget malah. Ini kalau enggak malu karena banyak orang, Phi bakalan teriak sekeras-kerasnya, kalau Phi cinta sama Nita"
"Haha.... kayak yang berani saja"
"Berani ye!"
"Berani kenapa?"
"Ya berani. Soalnya ada kamu yang nemenin. Nanti malunya barengan"
"Hehe.... curang"
"Eh, Nit. Tapi jangan bilang-bilang ya kalau kita pacaran sama yang lain!"
"Malu ya punya pacar kayak Nita?"
"Bukan, yang ada malah bangga. Phi enggak ingin ada yang ikut campur sama hubungan kita. Biar hanya aku, kamu dan Tuhan yang tahu tentang hubungan kita"
"Hihi.... so sweat"

Inilah pengalaman pertamaku mempunyai pacar dua sekaligus. Tidak tanggung-tanggung: aku, Nita dan Mikhayla satu kelas. Pengalaman pertama, jadi kuputuskan untuk mengenang momen ini. Kutuliskan nama Nita dan Mikhayla di mejaku kecil-kecil dengan menggunakan tipe-x. Kutuliskan, 5. Mikhayla dan 6. Nita. Angka itu sebagai nomor urut karena waktu SMP aku sudah empat kali pacaran.

*****


Tidak terasa sudah sebulan lamanya aku berpacaran dengan Nita dan Mikhayla. Semuanya baik-baik saja. Teman-teman sudah mulai ada yang curiga, tapi ketenanganku mengalahkan semua itu. Cukup menyenangkan juga mempunyai pacar dua sekaligus. Ketika kita punya masalah dengan pacar yang satu, kita masih punya pacar lainnya untuk bergantung. Mungkin inilah alasan mengapa banyak orang yang suka selingkuh.

Rintik hujan turun di malam bulan September, dimana waktu sudah menunjukkan jam 19.30. Aku sudah menyiapkan diri dipelukan kasur, merapikan bantal dan menyiapkan selimut. Bersiap untuk tidur. Berharap tidur melindungiku dari ganasnya hujan. Entah mengapa aku sangat suka sekali untuk tidur pada saat hujan turun. Itu sudah menjadi sebuah kebiasaan. Dinginnya udara saat hujan begitu mendamaikan. Suara rintik hujan yang sederhana, bagai simfoni berkelas tinggi ciptaan Tuhan sebagai lagu pengantar untuk memasuki gerbang mimpi.

"Kring.... kring...." bunyi suara telepon rumah berdering. Aku berusaha tak mengacuhkannya. Mencoba berhalusinasi agar mamah, ayah atau adik yang mengangkat teleponnya. Tapi sepertinya percuma, karena mereka semua sepertinya sudah tertidur pulas. Suara telepon masih menyalak dengan kerasnya. Akhirnya aku paksakan diri untuk bangkit dari pelukan sang kasur.

"Hallo" sapaku dengan enggan.
"Hallo, ini dengan Phi?"
"Iya ini dengan Phi"
"Phi, ini aku, Alma"
"Iya ada apa Alma?" tanyaku dengan heran karena jarang sekali aku berinteraksi dengan Alma. Aku tak menyangka Alma akan menghubungiku. Alma adalah teman kelasku, satu meja dengan Nita. Dia adalah salah satu temanku yang beragama nasrani. Aku pernah mempelajari alkitab dan aku tahu kalau nama Alma itu artinya mencintai. Nama yang cukup puitis bukan?
"Kamu lagi ngapain Phi?"
"Aku lagi bernapas Alma"
"Haha.... bisa saja kamu. Belum tidur?"
"Alma.... kamu cerdas sekali. Makanya aku bisa berbicara di telepon dengan kamu karena aku belum tidur"
"Hehe.... aku pingin curhat"
"Hehe.... curhat apa? Iya boleh" jawabku seolah ikhlas. Aku masih heran kenapa Alma ingin curhat di telepon. Bukankah cerita di kelas juga bisa? Apakah dia tidak tahu jika biaya telepon itu lumayan mahal? tanyaku dalam hati.

Alma bercerita panjang lebar mengenai mantan pacarnya yang sudah putus karena perbedaan jarak. Hal itu terjadi karena Alma harus ikut orang tuanya ke Subang. Sedangkan pacarnya di Medan. Sekitar 10 menit Alma bercerita masalah hubungan dia dengan pacarnya terdahulu. Aku tidak terlalu mendengarkan karena sudah ingin segera kembali ke pelukan sang kasur.

"Phi mau enggak menggantikan peran pacar Alma?" tanya Alma yang membuat rasa ngantukku hilang.
"Kenapa harus Phi?"
"Kamu itu mirip dia banget soalnya. Cerdas, suka bercanda dan cadel. Mirip banget, wajahnya juga"
"Hehe.... enggak mau"
"...." Alma terdiam membisu.
"Sebaiknya kita enggak pacaran Alma. Phi dilarang pacaran sama mamah" aku mencoba mencari alasan.
"Oh gitu ya" jawab Alma dengan lesu.
"Iya, takut kalau harus melawan perintah mamah. Nanti dikutuk jadi ganteng karena durhaka" hiburku padanya.
"...." Alma masih terdiam membisu.
"Alma, kita jadi adik-kakak saja. Jangan sedih ya!"
"Iya enggak sedih. Cuma kecewa saja sama jawabannya"
"Hehe....Alma boleh panggil Phi dengan panggilan kakak nantinya"
"Hehe.... malu ah"
"Romantis malah. Phi nanti panggil Alma adek kecil""
"Hehe... kalau gitu keputusannya baik deh kakak, adek nurut saja sama kakak"
"Nah gitu dong, adek, sekarang kakak sudah ngantuk. Udahan ya teleponannya"
"Baik kakak, maaf yah udah ganggu"
"Enggak apa-apa. Selamat malam ya"
"Selamat malam juga"

Kututup teleponku. Berharap Alma tidak menangis setelah mendengar jawaban dariku. Mungkin jika aku menerima Alma, namaku bisa tercatat di museum rekor Indonesia sebagai salah satu manusia paling bajingan di kelas pada tahun 2000-an karena memiliki tiga pacar dalam satu kelas.


*****

Kembali ke Masa Sekarang
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Kututup buku diaryku. Kurebahkan badanku di atas kasur. Aku masih tidak bisa berhenti tersenyum. Menertawakan arogansiku waktu kelas X. Sambil memejamkan mata aku berdoa agar Tuhan memafkan semua kesalahanku.
(Bersambung)
Gambar Ilustrasi

4 komentar :

  1. Plot twist: akhirnya Phi menerima Alma menjadi pacarnya pada masa sekarang. Hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha... Siapakah anonim ini?
      Tapi sepertinya itu tak akan terjadi. Karena di kehidupan nyata juga semua itu tidak terjadi.

      Hapus
    2. Kamu harus cukup wibawa dan tampan utk mengetahui siapa anonim ini. Hahaha. :p
      Hm ... jadi begitu ya ....
      Saya kira cerbung ini hanya khayalan semata. Hehehe.

      Hapus
    3. Haha.... dunia maay menag terkadang menjadi sangat berbahaya bila kita terlalu banyak menebak-nebak. Tapi tenang, setidaknya aku sudah memegan satu buah nama.

      Haha.... kadang kisah hidup sendiri lebih menarik dibandingkan kisah hidup orang lain yang sering kita ceritakan.

      Hapus

Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat