Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal terbit: 22 Juli 2014
Setelah sebelumnya saya membuat artikel tentang 7 Tips untuk Menjadi Guru Les Privat yang Keren, kali ini saya membuat artikel mengenai 10 Hal yang Tidak Boleh Dilakukan Guru Kelas. Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman saya mengajar di sekolah dan pengalaman saya sebagai seorang siswa. Walaupun saya sekarang seorang karyawan swasta, tetapi kecintaan saya pada dunia pendidikan yang mendorong saya untuk membuat artikel ini.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa secara umum perkembangan karakter dan mental peserta didik relatif mengalami perubahan setiap 5 tahun. Jika pada zaman dahulu mendidik dengan cara kekerasan dianggap masih relevan dan efektif maka untuk zaman sekarang, hal itu sudah dianggap tabu, pamali dan kuno. Apalagi semenjak muncul handphone berkamera dan media sosial. Setiap kekerasan yang dilakukan oleh guru dianggap sebuat perbuatan "terhina" dan "tidak pantas", karena guru adalah seseorang yang harus digugu dan ditiru.
Pada zaman sekarang pendekatan yang bersifat psikologis lebih mudah diterima oleh peserta didik, orang tua siswa dan lingkungan masyarakat. Bukan maksud saya mengatakan pendekatan tersebut lebih cocok karena karakter dan mental siswa semakin lemah. Tapi ini yang harus kita sadari sebagai guru: ada perubahan, ada revolusi mental dan karakter siswa. Semuanya ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Lalu apa lebihnya? Siswa zaman sekarang cenderung lebih terbuka dan adaftif terhadap perubahan lingkungan. Akuilah.
Gambar Ilustrasi Guru yang Tak Mau Berubah
1. Jangan Meremehkan RPP
"RPP itu asal saja, itu kan konsep, hanya rencana. Di lapangan kan terserah kita mau mengajar bagaimanapun juga. Hanya membebani saja!", ujar seorang teman
"Kalau membuat proposal untuk suatu kegiatan di organisasi penting nggak?" tanyaku padanya
"Penting"
"Sekali?" tanyaku untuk sedikit meyakinkan
"Sekali. Agar acara kita disetujui oleh pihak terkait, agar ada donatur untuk kegiatan kita" jawab temanku dengan penuh keyakinan
"Lalu apa bedanya RPP dan proposal kegiatan?" tanyaku secara retoris "Kita mengajar dengan RPP saja masih acak-acakan. Apalagi tanpa RPP? RPP itu penting! Minimal menggambarkan bagaimana kesungguhan kita untuk menjadi seorang guru yang baik dan benar. Membuat RPP juga kan itung-itung kita belajar konsep yang akan diajarkan kita kepada siswa, belajar membuat soal evaluasi, dll"
Jika diperhatikan secara seksama, RPP kadang dianggap hal yang tidak penting, sering juga dianggap beban guru. Beban yang seharusnya tidak menjadi beban. Maaf, apalagi jika ditengok keadaan guru senior, umumnya RPP yang dibuat sudah melenceng dari kaidah-kaidah. Mungkin itulah alasan mengapa model atau metode pembelajaran yang dilakukan tidak jauh dari model pembelajaran ceramah saja. Karena RPP tidak pernah di update.
Sekali lagi, RPP itu penting rekan-rekan. RPP itu rencana. Garis batas tujuan kita dalam mengajar. Bukankah seseorang yang merencanakan kesuksesan akan semakin besar kemungkinannya untuk menuai kesuksesan juga?
Gambar Ilustrasi Guru yang Mengajar tanpa RPP yang baik dan benar
2. Jangan Membiarkan Siswa Menyontek
"Menyontek itu lebih keji dari menginjak kitab suci. Menginjak kitab suci artinya menghina wujud fisik kitab suci, tetapi menyontek itu artinya menghina esensi dari kitab suci itu sendiri."
Jika Aristoteles pernah berujar bahwa kebodohan adalah bapaknya kemiskinan dan kejahatan, maka untuk konteks kekinian dapat kita katakan bahwa menyontek adalah ibunya korupsi dan plagiatisme. Mengapa demikian? penelitian yang dilakukan di USA terhadap para narapidana koruptor menyimpulkan bahwa, 100% para narapidana tersebut semasa duduk di bangku sekolah pernah melakukan tindakan menyontek.
Menyedihkan bukan? Itu artinya yang menyontek di bangku sekolah sudah pasti jadi koruptor! Percayalah. Perlu diingat juga bahwa korupsi bukan hanya masalah uang, tapi bisa waktu, jabatan, wewenang, dll.
Ada 3 variabel yang menyebabkan kegiatan menyontek, yaitu orang yang menyontek, orang yang memberi contek, dan guru yang membuka peluang untuk siswa menyontek. Dari ketiga variabel tersebut yang paling salah adalah guru yang memberi peluang untuk menyontek.
Ketika saya menjadi guru, saya sangat idealis sekali. Terutama masalah menyontek. Saya pernah menyontek, pernah juga memberi nyontek. Tapi saya tak ingin membuka peluang siswa saya untuk menyontek, karena saya sudah tahu resiko dan kerugiannya.
Mungkin beberapa guru ada yang mengorbankan keidealismeannya untuk masalah menyontek. Agar mereka disebut "guru baik". Begitulah yang terjadi. Definisi guru baik sudah berubah di mata siswa, menjadi guru yang mengijinkan siswa untuk menyontek.
Pernah suatu ketika, saking saya tidak mengijinkan siswa menyontek saya pernah dimusuhi oleh siswa sekelas. Bayangkan saja, setiap saya melewat di depan kelas mereka, bekas kaki saya langsung di pel lagi. Apakah saya sakit hati? Pasti. Tapi saya siap mati demi idealisme yang saya yakini benar.
Gambar Ilustrasi Menyontek
3. Jangan Membanding-Bandingkan Siswa
Ini adalah kesalahan guru dan bahkan orang tua yang paling sering dilakukan, yaitu mebanding-bandingkan kemampuan siswa. Ini pelanggaran besar dalam dunia pendidikan. Pembunuhan karakter kawan!
Kalau mau membandingkan siswa silakan saja. Tapi tolong bandingkan kemampuan siswa itu sendiri dengan dirinya di masa lampau. Misalnya dulu nilai kimianya 30, sedangkan sekarang dapat 40. Beri pujian. Itu pencapaian, itu yang namanya peningkatan dan hak dia untuk mendapat penghargaan.
Tindakan tidak terpuji jika kita membandingkan siswa kita dengan siswa lain yang lebih hebat. Rumahnya beda, kondisi keuangannya beda, lingkungannya beda, orang tuanya beda. lalu mengapa harus dibanding-bandingkan untuk disamakan?
Gambar Ilustrasi Mahasiswa yang Tertekan karena Dibanding-Bandingkan
4. Jangan Memarahi Siswa di Depan Umum
Anda pernah dimarahi di depan teman-teman anda? Bagaimana rasanya? Sungguh memalukan bukan? Jika anda pernah merasakannya, mengapa sekarang anda lakukan hal yang serupa terhadap anak didik anda?Siswa yang dimarahi di depan umum akan semakin meningkatkan tingkat agresivitas siswa tersebut, semakin tidak menurut dan keinginan untuk membangkang semakin besar.
Niat awalnya harus dipertanyakan: ingin mempermalukan siswa atau memberi nasihat? Orang yang dipermalukan di depan umum jarang sekali menjadi seseorang yang hebat. Mereka akan minder, mendendam dan membangkang.
Gambar Ilustrasi Membandingkan
5. Jangan Menjudge Karakter Siswa
Contoh judge yang sering terjadi:
- Anak itu tak punya bakat
- Memang sudah bodoh dari kecil, susah diajarinya juga
- Kelakuan anak itu menurun dari orang tuanya yang seorang pemabuk dan penjudi
Jika pernah seorang guru berkata demikian, walau meskipun dia seorang guru, maka dia sudah tidak pantas menjadi seorang guru. Mengapa? Ini judge yang semena-mena. Kalau ini sampai terjadi, patut dipertanyakan lagi keimanannya. Bukankah kita percaya bahwa semua orang itu dilahirkan putih, suci dan hanya dibekali potensi?
Malah tugas guru untuk mengembangkan potensi mereka. Mari mencari solusi, jangan hanya bisa menyalahkan kondisi siswa. Percayalah, setiap siswa itu jenius pada bidangnya masing-masing. Jangan memaksa mereka ahli di semua bidang. Malah di masa depan, orang yang profesional di memahami secara mendalam di satu bidang lebih dihargai dibandingkan orang yang menguasai banyak bidang tapi tidak profesional. Bukankah anda juga sebagai guru tidak ahli di semua bidang? Hehe....
Kata-Kata Bijak dari Einstein
6. Jangan Membicarakan Kejelekan orang Lain di Depan Siswa
Materi pembelajaran sudah habis. Sedangkan waktu belajar masih lama. Inilah jebakan yang sering terjadi. Akhirnya si guru curhat, awalnya tentang diri pribadi, lalu pada akhirnya menceritakan kejelekan orang lain di depan kelas.
Kemungkinan lain, dan paling sering, karena guru terlalu dekat dengan siswanya akhirnya guru tersebut terbuka akan segala hal. Termasuk menceritakan kejelekan guru lain yang merupakan teman sejawat. Tahukah anda, bahwa kejelekan orang lain yang sebenarnya anda ceritakan adalah cerminan diri anda sendiri?
7. Jangan Menunjukkan Sifat Sempurna
Lho? Kok enggak boleh jadi manusia sempurna di depan siswa? Anda sebagai guru kan melatih siswa menjadi manusia, bukan Tuhan. Sifat manusia itu tidak sempurna, maka tunjukkanlah ketidaksempurnaan itu sesekali. Guru boleh marah, tapi jangan jadi pemarah. Guru boleh tertawa, tapi jangan menertawakan kesusahan orang lain. Guru boleh kok mengeluh, menangis, curhat, kaget, dll. Tapi ingat, harus disaat yang tepat, sepantasnya dan sesekali.
Gambar Ilutrasi
8. Jangan Melakukan Pembelajaran yang Statis
Setiap hari belajar selalu saja dengan menggunakan model pembelajaran ceramah. Apa siswa enggak bosan? Itu sama saja kamu makan sama tahu setiap hari dan terus menerus, dimanapun tempat makannya pasti membuat bosen. Begitu juga siswa, walaupun materinya ganti-ganti, tapi karena cara menyampaiannya tetap sama ya akhirnya bosen. Kalau sudah bosan maka lama-lama akan muak. Kalau sudah muak akhirnya otak siswa berontak. Selesailah pendidikan.
Lain cerita jika anda adalah guru kreatif. Di tangan guru kreatif mata pelajaran yang tidak menarik saja bisa menjadi sangat menyenangkan untuk dipelajari. Hidup ini sudah membosankan, makanya jangan jadi guru yang membuat bosan.
Gambar Kelas yang Membosankan Membuat Siswa Mengantuk
9. Jangan Memberikan Beban Berlebih
Siswa zaman sekarang sudah mulai sibuk dengan hal-hal yang tidak menjurus. Semuanya terlalu umum. Pulang sekolah siswa harus sibuk dengan bimbingan belajar, les musik, bahkan disibukkan dengan tambahan les privat di rumah. Lalu apa yang anda lakukan? Memberinya pekerjaan rumah (PR) 10-25 soal agar mereka belajar sendiri. Tapi pada faktanya, semua sia-sia.
Saya pada saat pertama kali menjadi guru kelas juga seperti itu. Saya beranggapan waktu di sekolah sangatlah kurang untuk memahami materi. Maka saya sering memberikan PR yang cukup banyak ke siswa, 10-15 soal.
Pada suatu saat, saya datang lebih awal dari biasanya. Karena jam pelajaran saya dimulai pukul 06.30 dan saya sudah sampai di sekolah pukul 06.15, maka saya putuskan masuk ke kelas lebih dulu. Ketika masuk kelas saya sangat kaget karena melihat siswa saya sedang menyontek berjamaah. Awalnya saya sangat marah, lantas saya menghela napas dan berusaha memahami apa yang terjadi.
Jangan-jangan ini semua karena salah saya? PR terlalu banyak sedangkan waktu siswa tidak cukup untuk mengerjakannya, atau mungkin PR nya terlalu susah? Berarti saya gagal membina karakter siswa kalau begini. Akhirnya setelah kejadian itu saya selalu memberikan PR sedikit pada siswa. Hanya 1-3 soal. Pertanyaannya juga gampang sekali. Misalkan: Mengapa layar TV CRT (TV tabung) selalu dipenuhi oleh debu? Sederhana bukan, siswa bebas menjawab tapi memerlukan kreatifitas dalam berpikir.
Tapi sebelumnya saya berkomitmen. Saya bilang saya akan memberi PR sedikit dan mudah asal siswa saya mengerjakan mandiri, dan bagi yang tidak sempat mengerjakan PR saya minta jujur. Walaupun tidak mengerjakan, tapi karena kejujurannya saya berikan nilai 80.
Gambar Ilustrasi Pendidikan dengan Beban Berlebih
10. Jangan Mementingkan Nilai Siswa
Coba sebutkan siapa yang berani menjamin orang yang meraih nilai besar di sekolahnya akan menjadi orang sukses, menjadi orang baik, atau menjadi orang kaya? Apakah ada yang menjaminnya? Bahkan di dalam kitab suci agama manapun tidak ada yang berani menjaminnya. Lalu kenapa anda selalu mementingkan nilai siswa? Takut sama yang namanya standar nilai minimal atau KKM? Nilai siswa bukannya bisa kita atur sedemikian rupa?
Sudahlah, Bapak dan Ibu guru. Orang pintar sudah banyak di negara ini. Sekarang orang yang dibutuhkan di negara ini adalah orang yang jujur, disiplin, bertanggung jawab dan ramah. Fokus saja ke pembentukan karakter siswa. Nilai bagus dapat dicapai dengan belajar semalaman, tapi karakter tidak akan pernah terbentuk dalam waktu semalam. Perlu waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan.
Pendidikan Karakter
Susah betul kan menjadi guru? Mungkin karena alasan itulah di Finlandia hanya mahasiswa terbaiklah yang boleh manjadi guru. Tapi yang jadi masalah bukan apakah kita terbaik atau bukan? Tapi apakah kita punya kemauan agar orang lain jadi yang terbaik. Karena itu adalah tugas utama seorang guru.
Terakhir, "lebih baik tidak menjadi guru sama sekali, daripada menjadi guru tetapi tidak baik dan benar"