Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal terbit: 16 November 2014
Sebelumnya, Penantian 1000 Tahun Episode 1: Kumbang yang Mencari Bunga
Apakah ada orang yang tidak mempunyai masa lalu? Semua orang pasti mempunyai masa lalu dalam hidupnya. Bahkan dewa-dewa yang hidup di puncak Gunung Olimpus juga punya masa lalu, kecuali jika kamu adalah Tuhan.
Sebelumnya, Penantian 1000 Tahun Episode 1: Kumbang yang Mencari Bunga
Apakah ada orang yang tidak mempunyai masa lalu? Semua orang pasti mempunyai masa lalu dalam hidupnya. Bahkan dewa-dewa yang hidup di puncak Gunung Olimpus juga punya masa lalu, kecuali jika kamu adalah Tuhan.
Masa lalu adalah bagian dalam diri kita. Seperti benalu: merekat erat, menusuk rusuk. Bukan untuk dimusuhi, tapi untuk dijadikan kawan. Dia adalah saudara terdekat manusia, sumber segala masa depan.
Ada orang yang berusaha melupakan masa lalunya. Mungkin karena kelamnya. Ada juga orang membangga-banggakan masa lalunya. Mungkin karena gemilangnya. Tapi yang lebih berbahaya adalah orang-orang yang melupakan masa sekarang. Masa yang lebih penting dari masa lalu dan masa depan.
Ceritaku ini dimulai pada bulan Juli, 8 tahun yang lalu. Musim panas tahun 2006.
Episode 2
Dua Cinta dalam Satu Kelas
"Seburuk dan sekelam apapun masa lalumu, masa depanmu masih suci" -Mario Teguh
Di massa itu, tepatnya pada milenium ke dua, lebih tepatnya lagi pada tahun 2000-an. Saat-saat dimana memiliki buku diary merupakan salah satu hal wajib bagi umat manusia, terutama anak sekolahan. Kecuali jika kamu ingin dibilang manusia primitif, kuno. Di masa itu, buku diary merupakan salah satu alat yang dapat meningkatkan kasta sosialmu dalam pergaulan.
Tapi sayangnya hal itu hanya berlaku untuk wanita. Sedangkan untuk pria, memiliki buku diary dianggap aneh. Melawan kodrat! Ada tiga kemungkinan mengapa seorang pria bisa memiliki buku diary pada tahun 2000-an. Kalau enggak cupu, pasti kemayu dan kalau bukan keduanya, maka sudah pasti pria tersebut sudah putus urat malunya.
Sayangnya lagi, aku adalah salah satu pria yang mempunyai buku diary. Cupu, kemayu atau tak tahu malu?
Seperti biasa, malam ini, sebelum tidur aku sempatkan diri untuk menulis di buku diary. Kutuliskan mengenai kelas baruku, lucunya Qua dan tentu saja, Afrodit.
Tapi sayangnya hal itu hanya berlaku untuk wanita. Sedangkan untuk pria, memiliki buku diary dianggap aneh. Melawan kodrat! Ada tiga kemungkinan mengapa seorang pria bisa memiliki buku diary pada tahun 2000-an. Kalau enggak cupu, pasti kemayu dan kalau bukan keduanya, maka sudah pasti pria tersebut sudah putus urat malunya.
Sayangnya lagi, aku adalah salah satu pria yang mempunyai buku diary. Cupu, kemayu atau tak tahu malu?
Seperti biasa, malam ini, sebelum tidur aku sempatkan diri untuk menulis di buku diary. Kutuliskan mengenai kelas baruku, lucunya Qua dan tentu saja, Afrodit.
Karena belum terlalu mengantuk, aku kembali membaca apa saja yang telah kulakukan di masa-masa yang telah kulalui. Masa dimana penyesalan selalu datang terlambat. Masa dimana aku mulai mempelajari tentang cinta, yaitu masa kelas X. Kisah tentang siapa Nita dan bagaimana kami bisa sedekat sekarang.
*****
1 Tahun Lalu
"Nama kamu Phi ya?" tegur seorang wanita padaku.
Aku meliriknya, bertanya pada diri sendiri siapa gerangan wanita yang sok kenal sok dekat (SKSD) ini. "Ini siapa ya?"
"Ayo tebak siapa? Masa lupa"
"Kamu.... orang yang pernah aku pinjam uangnya dan aku belum mengembalikan?"
"Bukan...."
"Kalau begitu, kamu pasti orang yang pernah aku intip di toilet umum?"
"Hah? Jadi selain suka ngutang, kamu juga suka ngintip? Bukan juga"
"Hehe.... Yang terakhir ini pasti benar. Kamu pasti orang yang pernah aku ambil pulpen, penghapus, tipe-x atau pensilnya. Lalu sampai sekarang aku lupa mengembalikannya"
"Haha.... Itu sih bukan lupa mengembalikan namanya. Tapi niat mencuri"
"Okey aku menyerah. Anggap saja kita tak pernah bertemu" aku kemudian berjalan menjauhinya. Tapi perlahan, karena aku tahu dia pasti akan memanggilku lagi.
"Tunggu.... Namaku Nita. Nita Flowdestia. Waktu SMP aku ikut Paskibra. SMP aku pernah melakukan latihan gabungan sama SMP kamu"
"Oh...." jawabku sambil tersenyum dan tetap berlalu.
Menjadi seorang pria yang menyebalkan adalah salah satu keahlianku. Tapi percaya atau tidak, kebanyakan wanita menyukainya. Mungkin awalnya mereka membenci, tapi selanjutnya mereka akan penasaran. Jika sudah penasaran, pada akhirnya mereka akan jatuh cinta pada kita. Bahkan secara apa adanya, tanpa topeng.
Ya, ternyata benar sekali apa yang mayoritas orang katakan jika cinta dan benci itu batasnya tipis. Setipis membran semipermiabel. Kamu hanya perlu tekanan osmotik secukupnya agar larutan yang satu bisa bercampur dengan larutan yang lainnya. Lebih mudah membuat jatuh cinta orang yang benci pada kita, dibandingkan membuat jatuh cinta orang yang sebelumnya tak punya perasaan apa-apa pada kita. Itu teoriku.
*****
Seperti siswa baru lainnya. Mencari pacar di habitat baru hukumnya sunah muakkad. Ada seseorang yang cukup menarik perhatianku selain Nita, namanya Mikhayla. Namanya diambil dari bahasa Swahili. Bahasa di wilayah Afrika Timur yang artinya malaikat.
Setiap hari aku lihat Mikhayla selalu dihampiri oleh seorang pria, tampak akrab. Di depan pintu kelas. Baik itu pagi sebelum pelajaran dimulai, pada saat istirahat, ataupun pada saat pulang sekolah. Tiga kali sehari, mirip orang yang minum obat. Mungkin dia sedang sakit, tapi bukan karena virus atau bakteri patogen. Tapi karena cinta.
Suatu hari aku lihat dia sedang menangis setelah mengobrol dengan pria yang selalu datang menghampirinya. Tangisnya sunyi, tapi sudah cukup untuk menarik perhatian para penyamun di alam bawah, alam yang terbuang. Kuberanikan diri untuk mendekatinya. Duduk di teras, tepat di sampingnya. Menatap ke arah depan, tampak canggung.
"Angin sepoi-sepoi ini menenangkan ya?" tanyaku padanya tanpa mengharapkan jawaban
"Tapi kadang bisa menyebabkan masuk angin" sejurus kemudian Mikhayla mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
"Kalau masuk angin tinggal kerokan"
"Kerokan itu sakit"
"Sakit tapi melegakan. Kalau enggak tahan dengan sakitnya kerokan, maka tidak akan sembuh" aku menatap wajahnya. Tampak muram. Sadar akan tatapanku, dia balas menatap. Lalu aku palingkan wajah melihat jauh ke depan. "Mungkin masuk angin itu seperti cinta, cinta itu penyakit. Kamu enggak akan sembuh dari penyakit itu kalau kamu enggak obati"
"Maksudnya diobatinya dengan kerokan juga?"
"Bukan, kalau cinta diobatinya dengan patah hati"
"Hehe.... patah hati?"
"Cinta itu penyakit karena cinta membuat kita lupa tidur, lupa makan, lupa dunia nyata. Sedangkan patah hati akan mengembalikan kita pada kehidupan nyata, turun lagi ke bumi, ke alam sadar."
"Hehe.... jadi kita sadar kalau dunia ini kejam?"
"Iya, mungkin" jawabku sambil mengangkat bahu. "Itu ada guru, sebaiknya kita segera masuk kelas". Untung ada guru yang mau masuk kelas, jadi ada alibi, kalau tidak sepertinya aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari Mikhayla, dan akan tampak bodoh.
Aku sebenarnya tak terlalu mengerti tentang apa yang aku bicarakan kepada Mikhayla. Tapi sepertinya tampak keren, karena setelah percakapan pertama itu kami jadi semakin akrab. Mungkin kemampuanku dalam berfilsafat merupakan faktor hereditas dari orang tuaku, kakek-nenekku, atau leluhurku yang lain. Tapi karena siapapun itu, sungguh aku berterima kasih.
Di depan kelas kami terdapat ruang PMR. Tempatnya kecil, ukuran 2 x 3 m. Terdapat satu buah kasur, satu buah meja dan satu buah kotak obat di dalamnya. Merupakan tempat favorit beberapa siswa. Kadang jika tidak ada guru lebih baik tiduran di dalamnya. Pengurusnya juga gampang diajak berkompromi. Atau jika ada yang lupa mengerjakan PR dan takut dihukum, maka berpura-puralah sakit. Maka siswa tersebut akan selamat di dalam ruangan sakral ini.
Untuk kesekian kalinya Nita pingsan di dalam kelas. Entah karena apa, karena hal itu sudah terlalu sering. Beberapa teman sibuk membopongnya ke ruang sakral itu, ruang PMR. Sedangkan aku, sedang sibuk menggunting kuku. Setelah selesai, karena guru sepertinya enggan masuk kelas akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke ruang PMR. Ternyata Nita masih terbaring di sana, sadar dan sedang memegang kepalanya.
"Wanita aneh"
"Maksud kamu ke aku?"
"Di ruangan ini kan cuma aku dan kamu, dan yang wanita cuma kamu. Jadi siapa lagi?"
"Aneh kenapa?"
"Hehe.... orang lain pura-pura sakit itu kalau ada guru yang galak. Ini kamu, enggak ada guru saja pura-pura sakit" candaku padanya.
"Aku lagi sakit Phi.... nanti lagi aja bercandanya" jawabnya singkat.
"Kamu mau tahu obatnya enggak?"
"Apa? Obat dari dokter saja enggak mempan, apalagi yang dari kamu"
"Aku pernah baca buku, ternyata menjalin hubungan antara lawan jenis juga bisa jadi salah satu obat untuk penyakit psikologis. Jangan-jangan kamu bukan sakit karena virus, bakteri, atau kelainan organ tubuh. Tapi kamu sakit karena beban mental atau pikiran" jelasku padanya dengan meyakinkan.
"Menjalin hubungan dengan lawan jenis? Maksud kamu pacaran...."
"Ya mungkin maksudnya itu"
"Haha.... jujur saja. Dasar gede gengsi. Jadi kamu nembak aku?"
"Hehe.... romantis ya? Ini kejutan. Kamu pasti enggak bisa nebak kalau aku bakalan nembak"
"Haha.... Haha.... hanya cowok seperti kamu saja yang berpikiran buat nembak cewek dengan alasan ilmiah" Nita tampak cengengesan, padahal dia masih dalam keadaan sakit. Mungkinkah dia lupa?
"Hehe.... soalnya aku enggak mengerti romantis itu apa"
"Cinta itu tanpa alasan Phi"
"Mengapa?" tanyaku padanya karena memang tidak mengerti.
"Karena ketika cinta disertai alasan, ketika alasan itu hilang maka cinta juga ikut menghilang. Misalnya kamu mencintai aku karena aku cantik. Ketika cantiknya pudar oleh waktu, maka cintamu juga akan pudar"
"Hehe.... untung aku cinta sama kamu karena kamu jelek"
"Ih.... jahat kamu. Nembaknya serius enggak sih?"
"Jadi jawabannya?" sanggahku sebelum Nita berbicara lebih panjang lagi.
"Nanti aku jawab seminggu lagi ya, hari Selasa minggu depan. Aku sekarang lagi sakit, enggak bisa berpikir jernih"
"Hehe.... iya enggak masalah. Mau hari Selasa atau hari kiamat juga akan aku tunggu"
Aku berlalu menuju kelas, meninggalkan Nita yang sedang sakit. Kejadian tadi terasa berlangsung sangat cepat. Tanganku bergetar. Untungnya groginya ke luar setelah aku menembak Nita. Cukup merepotkan menembak wanita itu. Pria selalu dituntut untuk romantis, konon katanya agar manis untuk dikenang. Walau sebenarnya kita para pria tidak pernah peduli akan hal itu. Tapi tidak semua pria, mungkin hanya aku.
Prediksiku Nita pasti akan menolakku. Nita meminta waktu sebagai bahan pertimbangan. Pertimbangan hanya akan menjerumuskan wanita pada dua pilihan: kasihan atau mumpung ada kesempatan. Jadi walaupun aku diterima, alasannya bukan karena cinta.
(Bersambung)
"Angin sepoi-sepoi ini menenangkan ya?" tanyaku padanya tanpa mengharapkan jawaban
"Tapi kadang bisa menyebabkan masuk angin" sejurus kemudian Mikhayla mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
"Kalau masuk angin tinggal kerokan"
"Kerokan itu sakit"
"Sakit tapi melegakan. Kalau enggak tahan dengan sakitnya kerokan, maka tidak akan sembuh" aku menatap wajahnya. Tampak muram. Sadar akan tatapanku, dia balas menatap. Lalu aku palingkan wajah melihat jauh ke depan. "Mungkin masuk angin itu seperti cinta, cinta itu penyakit. Kamu enggak akan sembuh dari penyakit itu kalau kamu enggak obati"
"Maksudnya diobatinya dengan kerokan juga?"
"Bukan, kalau cinta diobatinya dengan patah hati"
"Hehe.... patah hati?"
"Cinta itu penyakit karena cinta membuat kita lupa tidur, lupa makan, lupa dunia nyata. Sedangkan patah hati akan mengembalikan kita pada kehidupan nyata, turun lagi ke bumi, ke alam sadar."
"Hehe.... jadi kita sadar kalau dunia ini kejam?"
"Iya, mungkin" jawabku sambil mengangkat bahu. "Itu ada guru, sebaiknya kita segera masuk kelas". Untung ada guru yang mau masuk kelas, jadi ada alibi, kalau tidak sepertinya aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari Mikhayla, dan akan tampak bodoh.
Aku sebenarnya tak terlalu mengerti tentang apa yang aku bicarakan kepada Mikhayla. Tapi sepertinya tampak keren, karena setelah percakapan pertama itu kami jadi semakin akrab. Mungkin kemampuanku dalam berfilsafat merupakan faktor hereditas dari orang tuaku, kakek-nenekku, atau leluhurku yang lain. Tapi karena siapapun itu, sungguh aku berterima kasih.
*****
Kelas kami, kelas X-8, terletak pada deretan paling ujung kelas X. Di depannya ada taman. Rumputnya hijau, indah seperti delusi akan aurora. Di sampingnya terdapat tempat parkir kendaraan milik para dewa, dewa yang hidup di puncak Gunung Olimpus, yaitu para dewa yang mempunyai nama lain sebagai guru. Tempat parkirnya teduh, beratapkan asbes dengan pilar kayu. Cocok untuk bermain kucing-kucingan, tapi sepertinya tak cocok untuk bermain petak umpet, karena terlalu terbuka.
Di depan kelas kami terdapat ruang PMR. Tempatnya kecil, ukuran 2 x 3 m. Terdapat satu buah kasur, satu buah meja dan satu buah kotak obat di dalamnya. Merupakan tempat favorit beberapa siswa. Kadang jika tidak ada guru lebih baik tiduran di dalamnya. Pengurusnya juga gampang diajak berkompromi. Atau jika ada yang lupa mengerjakan PR dan takut dihukum, maka berpura-puralah sakit. Maka siswa tersebut akan selamat di dalam ruangan sakral ini.
Untuk kesekian kalinya Nita pingsan di dalam kelas. Entah karena apa, karena hal itu sudah terlalu sering. Beberapa teman sibuk membopongnya ke ruang sakral itu, ruang PMR. Sedangkan aku, sedang sibuk menggunting kuku. Setelah selesai, karena guru sepertinya enggan masuk kelas akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke ruang PMR. Ternyata Nita masih terbaring di sana, sadar dan sedang memegang kepalanya.
"Wanita aneh"
"Maksud kamu ke aku?"
"Di ruangan ini kan cuma aku dan kamu, dan yang wanita cuma kamu. Jadi siapa lagi?"
"Aneh kenapa?"
"Hehe.... orang lain pura-pura sakit itu kalau ada guru yang galak. Ini kamu, enggak ada guru saja pura-pura sakit" candaku padanya.
"Aku lagi sakit Phi.... nanti lagi aja bercandanya" jawabnya singkat.
"Kamu mau tahu obatnya enggak?"
"Apa? Obat dari dokter saja enggak mempan, apalagi yang dari kamu"
"Aku pernah baca buku, ternyata menjalin hubungan antara lawan jenis juga bisa jadi salah satu obat untuk penyakit psikologis. Jangan-jangan kamu bukan sakit karena virus, bakteri, atau kelainan organ tubuh. Tapi kamu sakit karena beban mental atau pikiran" jelasku padanya dengan meyakinkan.
"Menjalin hubungan dengan lawan jenis? Maksud kamu pacaran...."
"Ya mungkin maksudnya itu"
"Haha.... jujur saja. Dasar gede gengsi. Jadi kamu nembak aku?"
"Hehe.... romantis ya? Ini kejutan. Kamu pasti enggak bisa nebak kalau aku bakalan nembak"
"Haha.... Haha.... hanya cowok seperti kamu saja yang berpikiran buat nembak cewek dengan alasan ilmiah" Nita tampak cengengesan, padahal dia masih dalam keadaan sakit. Mungkinkah dia lupa?
"Hehe.... soalnya aku enggak mengerti romantis itu apa"
"Cinta itu tanpa alasan Phi"
"Mengapa?" tanyaku padanya karena memang tidak mengerti.
"Karena ketika cinta disertai alasan, ketika alasan itu hilang maka cinta juga ikut menghilang. Misalnya kamu mencintai aku karena aku cantik. Ketika cantiknya pudar oleh waktu, maka cintamu juga akan pudar"
"Hehe.... untung aku cinta sama kamu karena kamu jelek"
"Ih.... jahat kamu. Nembaknya serius enggak sih?"
"Jadi jawabannya?" sanggahku sebelum Nita berbicara lebih panjang lagi.
"Nanti aku jawab seminggu lagi ya, hari Selasa minggu depan. Aku sekarang lagi sakit, enggak bisa berpikir jernih"
"Hehe.... iya enggak masalah. Mau hari Selasa atau hari kiamat juga akan aku tunggu"
Aku berlalu menuju kelas, meninggalkan Nita yang sedang sakit. Kejadian tadi terasa berlangsung sangat cepat. Tanganku bergetar. Untungnya groginya ke luar setelah aku menembak Nita. Cukup merepotkan menembak wanita itu. Pria selalu dituntut untuk romantis, konon katanya agar manis untuk dikenang. Walau sebenarnya kita para pria tidak pernah peduli akan hal itu. Tapi tidak semua pria, mungkin hanya aku.
Prediksiku Nita pasti akan menolakku. Nita meminta waktu sebagai bahan pertimbangan. Pertimbangan hanya akan menjerumuskan wanita pada dua pilihan: kasihan atau mumpung ada kesempatan. Jadi walaupun aku diterima, alasannya bukan karena cinta.
*****
Bukanlah Phi namanya jika tidak mempunyai rencana cadangan. Sehari setelah aku nembak Nita, aku beranikan diri untuk menembak Mikhayla. Sudah tanggung malu soalnya.
Sepulang sekolah aku meminta Mikhayla menyempatkan waktunya untukku. Alasannya karena ada yang ingin dibicarakan. Sebenarnya ini alasan yang paling bodoh dan tak masuk akal. Seorang siswi SLB pun tahu jika ada yang mau dibicarakan kenapa harus pas pulang sekolah? Kenapa tidak saat di kelas saja? Ya, namanya juga ada udang di dalam bakwan.
Sore itu, sepulang sekolah....
"Mau membicarakan apa Phi?"
"Eeee...." aku bingung memulai pembicaraan darimana, lidahku seperti membeku oleh air liurku sendiri.
"Kalau PR Biologi aku juga belum selesai. Nanti saja ya nyonteknya kalau sudah selesai"
"Bukan itu Ayla...." walau aku suka menyontek tapi aku sadar ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan hal itu.
"Kamu mau minjem uang buat ongkos pulang?"
"Bukan juga" jawabku dengan singkat
"Lalu ada apa?"
"Aku mau nanya sama kamu. Cuma 5 soal kok"
"Sulit enggak?"
"Gampang"
"Aku coba jawab ya"
"Pertanyaan pertama, apakah kamu punya kakak?"
"Enggak"
"Apakah kamu punya adik"
"Iya"
"Apakah kamu punya orang tua?"
"Punya, masih hidup dua-duanya. Pertanyaan kamu kok gampang-gampang sih...."
"Sabar, ini pertanyaan akan semakin sulit. Keempat, apakah kamu punya pacar?"
"Haha.... ini sih masih gampang. Aku enggak punya pacar, udah dua minggu yang lalu putus"
"Ini pertanyaan yang terakhir, yang tersulit. Ehemm.... apakah kamu mau jadi pacarku?"
Krik.... krik.... krik.... Mikhayla terdiam. Suasana menjadi sunyi. Malaikat juga ikut terdiam. Mungkin jika saat ini aku memegang cangkul akan kugali sebuah lubang dan mengubur diriku sendiri di dalamnya. Opsi lainnya mungkin aku harus mengganti namaku yang sekarang, operasi plastik atau pindah sekolah. Arrgghh.... ini merupakan momen paling memalukan bagi seorang pria.
"Phi.... "
"Iya? Kalau kamu enggak mau juga enggak apa-apa. Aku ngerti kok" mungkin tampak tegar, tapi jika di rontgen bagian dalam tubuhku sepertinya akan tampak perubahan bentuk jantung yang hancur lebur dan berubah menjadi kuark, bagian terkecil dari atom, partikel penyusun proton dan neutron.
"Aku baru aja putus. Belum siap memberi jawaban. Besok saja ya?"
"Hihi.... "
"Kamu enggak apa-apa kan?"
"Aku sih apa-apa. Tapi aku tunggu deh jawabannya. Besok malam saja ya, lewat telepon"
"Kenapa harus lewat telepon? Kan bisa besok di sekolah saja"
"Aku takut kalau jawabannya penolakan. Nanti aku frustasi dan ada kemungkinan bunuh diri ketika pulang sekolah. Hehe.... "
"Hehe.... Phi masih bisa tertawa ternyata di posisi genting seperti ini"
(Bersambung)
Gambar Ilustrasi
Wah, jadi cinta segitunya nih. Hahaha.
BalasHapusHehe... Kadang cinta lebih rumit lagi dari itu
Hapus