Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal terbit: 9 November 2014
Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing, punya sudut pandangnya masing-masing, mengambil pilihannya masing-masing, tapi pada akhirnya tetap sama: kita akan menjadi pahlawan dari kisah hidup kita sendiri.
Biar kuceritakan sekelumit kisah hidupku. Mungkin ini akan cukup membuang waktumu. Tapi aku janji ini akan menjadi menarik. Apalagi setelah kamu sadar, bahwa kita sebenarnya sama. Kita sama-sama ingin bahagia, ingin sama-sama dicintai, sama-sama ingin dihargai, dan sama-sama berharap agar penantian ini tidaklah sia-sia.
Ceritaku ini dimulai pada bulan Juli, 8 tahun yang lalu. Musim panas tahun 2006.
Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing, punya sudut pandangnya masing-masing, mengambil pilihannya masing-masing, tapi pada akhirnya tetap sama: kita akan menjadi pahlawan dari kisah hidup kita sendiri.
Biar kuceritakan sekelumit kisah hidupku. Mungkin ini akan cukup membuang waktumu. Tapi aku janji ini akan menjadi menarik. Apalagi setelah kamu sadar, bahwa kita sebenarnya sama. Kita sama-sama ingin bahagia, ingin sama-sama dicintai, sama-sama ingin dihargai, dan sama-sama berharap agar penantian ini tidaklah sia-sia.
Ceritaku ini dimulai pada bulan Juli, 8 tahun yang lalu. Musim panas tahun 2006.
Episode 1
Kumbang yang Mencari Bunga
"Cinta bukan pengorbanan. Jika kau merasa berkorban, saat itu cintamu mulai pudar" -Sudjiwotedjo
Masih penuh ya? Gumamku dalam hati sambil menatap orang-orang yang masih riuh berdiri di depan jendela kaca yang ditempeli kertas ukuran A4 sebanyak delapan lembar. Mengapa mereka harus lama-lama berdiri di sana? Bukankah waktu yang diperlukan untuk mencari nama sendiri itu seharusnya relatif cepat? Mungkin ini kebiasaan banyak orang. Selalu ingin tahu segalanya. Mungkin buat bahan gosip, mungkin karena saking perhatiannya, mungkin juga karena memang mereka enggak ada kerjaan.
"Hey, ngelamun aja. Enggak lihat pengumuman?"
"Males. Masih penuh sama orang-orang" jawabku tanpa mengalihkan pandangan pada orang yang menegurku.
"Kebiasaan ya! Kalau ada yang ngajak ngomong itu lihat wajahnya"
"Aku orang Sunda. Lihat wajah seseorang itu enggak sopan. Terakhir kali aku melakukan itu, Bapakku malah memukulku" jawabku dengan datar.
"Haha... ya jelaslah. Kamu pasti lihat wajah bapak kamu pada saat dia marah. Itu dianggap menantang."
"Kok kamu tahu? Orang tua memang menyebalkan". Kulirik orang yang selama ini berbicara padaku. Ternyata Nita. Mantan aku di kelas X. Wanita yang selalu bersikap tampak dewasa dibandingkan teman sebayanya. "Kamu masih muda juga sama menyebalkannya Nit".
"Enak aja, yang menyebalkan itu kamu! Suka selingkuh!" jawab Nita dengan ketus.
"Udah aku bilang kan itu nggak disengaja. Keadaan yang memaksa aku buat melakukannya"
"Bosan dengernya juga" jawab Nita sambil menutup telinga. Tapi tidak dengan sungguh-sungguh.
"Katanya sudah dimaafin" jawabku untuk mengingatkan. Mungkin tampak memelas.
"Kamu masuk kelas XI IPA 2" kata Nita berusaha mengganti topik pembicaraan.
"Aku tinggal ya. Mau lihat dulu apakah kamu berbohong atau jujur"
Aku segera bergegas menuju jendela ruang guru. Sudah tidak ada orang sekarang. Kacanya sedikit tampak angkuh. Mungkin karena di dalamnya tempat para dewa bersemayam. Kutatap delapan lembar kertas putih. Sudah ternoda ternyata. Tidak perawan. Terlihat kotak-kotak rumit saling berkompromi. Sepintas mirip labirin yang menjebak nama-nama orang di dalamnya.
Kucari namaku di sana, di daftar siswa kelas XI IPA 2. Benar ternyata kata Nita, namaku tertulis di sana. Tampak aneh sendirian: "Phi Gauss Gibbs". Aneh karena nama ini tidak mencerminkan nama sunda, pun nama arab.
Kurunut semua daftar tersebut. Nita ternyata sekelas bersamaku. Ada Zamzam juga. Ya Zamzam, sepertinya aku akan memilih untuk duduk sebangku bersamanya. Dia sepertinya cukup kaya. Aku mungkin nanti bisa menjual beberapa kunci jawaban padanya ketika ada ulangan. Tidak, tidak, sepertinya bukan hanya itu saja. PR dan tugas membuat makalah bisa menjadi prospek bisnis yang menjanjikan di kelas.
Apakah ini terlihat licik? Jahat? Menurutku ini hanyalah insting seorang siswa berusia 17 tahun untuk dapat bertahan hidup. Keahlianku yang dapat aku jual dan menghasilkan uang hanyalah itu.
Kuberjalan memasuki kelas baruku. Ukuran ruangannya sama seperti kelas kebanyakan, 8 x 10 m. Bercat putih gading polos. Jendelanya telanjang tanpa tirai seolah menawarkan kehangatan di pagi hari, tapi kadang menyebalkan karena menyilaukan. Meja dan kursinya dari kayu. Kayunya dipernis, tapi sayang sudah banyak coretan hasil dari tangan jahil yang menulis tanpa tujuan. Mejanya terdiri dari empat baris, dan lima jajar. Pada masing-masing meja terdapat dua buah kursi.
Suasana kelas baru sudah riuh oleh orang-orang yang sibuk memilih bangku. Beberapa ada yang terlihat duduk seolah-olah ada lem yang merekatkan celananya pada kursi. Mungkin dia belum tahu apapun tentang penyakit ambeien yang disebabkan karena orang yang terlalu lama duduk. Kulihat Zamzam sudah duduk dengan orang lain. Rencana yang aku susun gagal, dan aku juga tak mempunyai rencana B.
"Phi, sini duduk sama aku"
Kutolehkan pandangan ke arah orang yang memanggilku. Ternyata itu adalah Adrian. Teman sekelasku di kelas X. "Kamu sendirian?" ku berjalan mendekatinya.
"Iya. Duduk di sini saja. Enak, deket jendela. Kalau pagi bisa buka jendela dan hirup udara segar. Kalau kentut pun tak masalah. Baunya bisa langsung kabur. Duduk di sini juga pemandangannya bagus. Bahkan kita bisa lihat babi bila duduk di sini" jelas Adrian padaku sambil setengah berbisik seperti kelakuan sales perumahan.
"Babi?"
"Iya itu...." mulut Adrian seketika berubah seperti kursor pada layar komputer mengarah ke meja belakang.
"Haha.... itu bukan babi. Itu kerbau" jawabku sambil berbisik
"Hihi.... lebih mirip ke babi. Itu babi ngepet"
"Ada lilin?"
"Mau ngapain?"
"Mau ditiup supaya dia berubah jadi manusia kembali"
"Haha.... "
"Haha.... sssttt... jangan terlalu keras tertawanya! Nanti kedengeran"
"Eh, nama lu Phi kan?" seorang pria berperawakan tinggi, bulat, gendut, hitam dengan kacamata bulatnya menyapaku. Dialah orang yang dari tadi Adrian samakan dengan babi. Ternyata betul dugaanku dia bukan babi, bukan juga kerbau, tapi manusia. Mungkinkah ada orang lain yang sudah meniup lilinnya?
"Iya. Betul. Kok bisa tahu nama aku?
"Kita satu SMP dulu"
Kita satu SMP? gumamku dalam hati. Kalau tadi Adrian bilang dia babi berarti aku ini apa? Kita kan satu sekolah. "Hehe.... maaf, lupa"
"Sombong...."
"Bukan gitu. Aku dulu pernah amnesia soalnya"
"Serius? Amnesia kenapa?" tanyanya dengan mimik muka serius
"Kalau habis bangun tidur aku suka amnesia"
"Maksudnya?"
"Iya misalnya besok mau ulangan. Aku suka belajar semalaman. Nah, pagi-pagi pas bangun tidur itu suka lupa lagi apa yang udah dipelajari semalam. Haha....." aku tertawa seikhlas-ikhlasnya seperti orang kesurupan.
Krik.... krik.... sepi dan sunyi. Lebih menyakitkan lagi karena tidak ada yang tertawa. Mungkin daya intelegensi mereka belum siap memahami gaya bercanda ilmiah seperti itu.
"Nama gue Qua. Dulu di SMP di kelas A. Lu di kelas B"
"Hehe.... salam kenal Qua" aku tersenyum dengan seindah-indahnya. Semoga saja tidak disangka homo olehnya.
(Bersambung...)
Apakah ini terlihat licik? Jahat? Menurutku ini hanyalah insting seorang siswa berusia 17 tahun untuk dapat bertahan hidup. Keahlianku yang dapat aku jual dan menghasilkan uang hanyalah itu.
Kuberjalan memasuki kelas baruku. Ukuran ruangannya sama seperti kelas kebanyakan, 8 x 10 m. Bercat putih gading polos. Jendelanya telanjang tanpa tirai seolah menawarkan kehangatan di pagi hari, tapi kadang menyebalkan karena menyilaukan. Meja dan kursinya dari kayu. Kayunya dipernis, tapi sayang sudah banyak coretan hasil dari tangan jahil yang menulis tanpa tujuan. Mejanya terdiri dari empat baris, dan lima jajar. Pada masing-masing meja terdapat dua buah kursi.
Suasana kelas baru sudah riuh oleh orang-orang yang sibuk memilih bangku. Beberapa ada yang terlihat duduk seolah-olah ada lem yang merekatkan celananya pada kursi. Mungkin dia belum tahu apapun tentang penyakit ambeien yang disebabkan karena orang yang terlalu lama duduk. Kulihat Zamzam sudah duduk dengan orang lain. Rencana yang aku susun gagal, dan aku juga tak mempunyai rencana B.
"Phi, sini duduk sama aku"
Kutolehkan pandangan ke arah orang yang memanggilku. Ternyata itu adalah Adrian. Teman sekelasku di kelas X. "Kamu sendirian?" ku berjalan mendekatinya.
"Iya. Duduk di sini saja. Enak, deket jendela. Kalau pagi bisa buka jendela dan hirup udara segar. Kalau kentut pun tak masalah. Baunya bisa langsung kabur. Duduk di sini juga pemandangannya bagus. Bahkan kita bisa lihat babi bila duduk di sini" jelas Adrian padaku sambil setengah berbisik seperti kelakuan sales perumahan.
"Babi?"
"Iya itu...." mulut Adrian seketika berubah seperti kursor pada layar komputer mengarah ke meja belakang.
"Haha.... itu bukan babi. Itu kerbau" jawabku sambil berbisik
"Hihi.... lebih mirip ke babi. Itu babi ngepet"
"Ada lilin?"
"Mau ngapain?"
"Mau ditiup supaya dia berubah jadi manusia kembali"
"Haha.... "
"Haha.... sssttt... jangan terlalu keras tertawanya! Nanti kedengeran"
"Eh, nama lu Phi kan?" seorang pria berperawakan tinggi, bulat, gendut, hitam dengan kacamata bulatnya menyapaku. Dialah orang yang dari tadi Adrian samakan dengan babi. Ternyata betul dugaanku dia bukan babi, bukan juga kerbau, tapi manusia. Mungkinkah ada orang lain yang sudah meniup lilinnya?
"Iya. Betul. Kok bisa tahu nama aku?
"Kita satu SMP dulu"
Kita satu SMP? gumamku dalam hati. Kalau tadi Adrian bilang dia babi berarti aku ini apa? Kita kan satu sekolah. "Hehe.... maaf, lupa"
"Sombong...."
"Bukan gitu. Aku dulu pernah amnesia soalnya"
"Serius? Amnesia kenapa?" tanyanya dengan mimik muka serius
"Kalau habis bangun tidur aku suka amnesia"
"Maksudnya?"
"Iya misalnya besok mau ulangan. Aku suka belajar semalaman. Nah, pagi-pagi pas bangun tidur itu suka lupa lagi apa yang udah dipelajari semalam. Haha....." aku tertawa seikhlas-ikhlasnya seperti orang kesurupan.
Krik.... krik.... sepi dan sunyi. Lebih menyakitkan lagi karena tidak ada yang tertawa. Mungkin daya intelegensi mereka belum siap memahami gaya bercanda ilmiah seperti itu.
"Nama gue Qua. Dulu di SMP di kelas A. Lu di kelas B"
"Hehe.... salam kenal Qua" aku tersenyum dengan seindah-indahnya. Semoga saja tidak disangka homo olehnya.
*****
Tak terasa waktu sudah berlalu selama 5.400 detik, supaya lebih mudah dipahami itu artinya 90 menit. Orang-orang di dalam kelas bergerak tanpa koordinasi. Seperti radikal-radikal bebas yang mencoba membentuk suatu senyawa dengan radikal bebas lainnya. Awalnya sih asyik, tapi lama-kelamaan bosan juga. Aku jadi bertanya, apa yang dilakukan guru-guru sekarang? Masihkah mereka bersemayam di tempat para dewa itu, yaitu tempat dimana siswa-siswa menyebutnya sebagai ruang guru.
Mungkin karena alasan inilah pendidikan di Indonesia tidak pernah berkembang sebagaimana mestinya. Terlalu banyak waktu yang dibuang percuma. Waktu kosong inilah -hal yang sepele- yang tanpa disadari membentuk karakter siswa menjadi pemalas karena terlalu banyak terbuai dengan waktu kosong. Mungkin kebanyakan siswa senang. Tapi tidak bagiku.
Kuberanjak dari kursi tempat aku duduk. Berjalan ke salah satu bangku kosong, tepat di sebelah Nita. Kuarahkan pandangan ke papan tulis. Sengaja, aku tak melihat ke arah Nita. Biar kelihatan cool. Teknik ini selalu berhasil untuk membuat orang lain menyapa kita lebih dulu, setidaknya cara ini berhasil diterapkan pada cewek di tahun 2000-an.
"Ada apa?" tanya Nita padaku. Sudah kubilang cara ini akan berhasil kan?
"Bosan"
"Enggak kenalan sama siswa yang lain?"
"Udah. Sebagian. Bagi aku, berangkat ke sekolah itu untuk melakukan dua hal: belajar atau pulang. Kenalan dengan orang-orang yang belum tentu merubah kehidupan kita adalah pilihan yang kesekian"
"Terus apa hubungannya dengan pindah tempat duduk ke depan? Tepat di samping aku lagi"
"Hehe.... biar bisa lihat muka siswa lainnya dari depan"
"Terus kalau udah lihat mukanya?"
"Ya kalau cocok aku ajak pacaran"
"Buat berkembang biak?"
"Hehe.... buat diajak nikah"
"Haha.... dulu kamu bilang kalau orang yang pacaran dengan alasan supaya semangat belajar itu bohong besar. Orang-orang itu sebenarnya berpacaran agar dapat mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya"
"Iya. Bahasa sopannya itu menikah"
"Mungkin yang di sana selera kamu" lirik Nita ke arah kanan
"Bukan ah. Enggak pakai kerudung. Ada rekomendasi lain?"
"Kalau yang itu.... Dia belum pernah pacaran lho.... Aku kenal dia dari kelas X"
"Siapa namanya?"
"Namanya Afrodit"
"Haha.... apa? Afrodit? Itu kan istilah untuk mahluk hidup yang memiliki kelamin ganda"
"Itu hermafrodit. Ini afrodit, kalau dalam mitologi Yunani artinya dewi kecantikan"
"Biasa saja ah. Cupu kayaknya"
"Ya lagipula dia nggak bakalan suka sama kamu"
"Haha.... tapi kalau dipikir-pikir dia cantik juga ya?"
"Tadi bilang cupu"
Kulihat jam di kelas menunjukkan pukul 11.00. Tanpa menghiraukan perkataan Nita yang terakhir, aku mulai berjalan kembali ke tempat dudukku. Kuambil tasku dan melangkah meninggalkan kelas. Semoga untuk kali ini pak satpam lebih mudah untuk diajak berdiplomasi agar aku diizinkan pulang ke rumah lebih cepat. Oh iya siapa tadi namanya? Afrot? Afrit? Hermafrodit? Oh iya.... Afrodit.
Menarik. Ini inspirasinya dari kehidupan pribadi ya?
BalasHapusHehe... Sebagian diambil dari kisah hidup yang pernah dialami dengan sedikit modifikasi.
HapusTerima kasih atas tanggapannya
^_^
Saya tidak sabar menunggu cerita selanjutnya. ;^)
HapusSabar ya, kelanjutannya akan terbit tiap hari minggu, seminggu sekali.
Hapus