Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 04 Januari 2015

[Cerbung] Penantian 1000 Tahun Eps. 7: Cumulonimbus

Tanggal terbit: 4 Januari 2015

Sebelumnya, Penantian 1000 Tahun Episode 6: Amoeba


Pernahkah kita pikirkan tentang satu masalah besar; dimana orang-orang terlalu banyak berbicara, terlalu lama bermimpi, dan terlalu sering berencana, tetapi terlalu sedikit orang yang berani bertindak.


Kita melintasi jalan yang sama, dengan kendaraan yang berbeda. Tetapi kita mengeluhkan kemacetan yang sama.
Kita tinggal di kompleks yang sama, di rumah yang berbeda, dengan jangka waktu yang lama. Tetapi kita mengeluhkan banjir yang sama.
Kita mendapatkan pendidikan dengan sistem yang sama, di sekolah yang berbeda. Tetapi kita mengeluhkan sifat guru yang sama.

Kita mempunyai masalah yang sama, membenci hal yang sama. Tapi apakah ada dari kita yang berani untuk bertindak? Kita ingin perubahan, tapi kita selalu berharap orang lainlah yang melakukan perubahan itu.

Siapa yang kita harapkan? Pemerintah? Tokoh masyarakat? Orang baik? Orang yang bisa dimanfaatkan? atau superhero?

Mungkin inilah alasan kenapa film superhero banyak yang menonton. Karena kita terlalu berharap ada orang yang bisa melakukan perubahan dan mengentaskan semua masalah kita. Kita salah, kenapa harus berharap pada orang lain, jika kita sendiri sebenarnya bisa melakukannya.

Ceritaku ini dimulai pada bulan Juli, 8 tahun yang lalu. Musim panas tahun 2006.


Episode 7
Cumulonimbus

"Jiwaku menasihatiku dan mengungkapkan kepadaku bahwa cinta tidak hanya menghargai orang yang mencintai, tetapi juga orang yang dicintai" -Khalil Gibran

Aku berjalan memasuki tempat para dewa bersemayam. Tempat dimana orang-orang menyebutnya sebagai ruang guru. Disebut dewa karena mereka tak pernah salah, atau mungkin tidak ingin dinilai salah. Bahkan siswa yang tidak mempunyai salah apapun juga bisa ketakutan jika memasuki ruang ini. Saking benarnya para dewa itu.


Kadang ketakutan muncul lebih dahulu dibandingkan sebuah kesalahan. begitulah perasaaanku saat ini. Aku mengikuti jejak kaki Ibu Erna. Apakah seorang siswa salah jika menggantikan gurunya mengajar? tanyaku dalam hati. Bukankah salah dia sendiri mengapa tidak masuk kelas?

Ruang ini berbentuk persegi empat dengan ukuran kira-kira 12 x 6 m. Disekat ke dalam tiga bagian, ruang kepala sekolah, ruang guru dan ruang tata usaha (TU). Di dalamnya terdapat banyak meja untuk menampung hajat duduk para dewa. Buku-buku juga menumpuk di atas mejanya seakan berbicara kepadaku ingin segera dirapikan. Disinilah tempat 54 dewa bersemayam. Aku benci tempat ini, gumamku dalam hati. Bagaimana siswa bisa senang belajar di sekolah, bisa betah di sekolah, jika di dalamnya saja ada tempat sehoror ini.

"Silakan duduk!" perintah Bu Erna kepadaku dengan nada pelan. Mungkin ini sebuah tipuan. Aku tak terlalu terkesan dengan nada bicaranya. Percuma berusaha menutupi kemarahan dengan nada bicara tapi bahasa tubuh berkata lain.
"Baik bu"
"Kamu tahu apa salahmu?"
Aku menatap wajahnya. Sulit dipercaya, aku bisa berada dalam kondisi sesulit ini. Mungkin ini saat yang tepat untuk apa adanya, berbicara secara sederhana. Mumpung ada guru lain juga. Tidak mungkin jika dia berani memukulku. Bisa-bisa kepala sekolah ikut turun gunung. "Tadi saya hanya mencoba mengajarkan teman-teman yang lain pelajaran Fisika. Menurut saya itu tidaklah salah. Mungkin kesalahan saya adalah mempunyai guru yang arogan seperti ibu"
Brak.... suara meja dihantam dengan keras oleh telapak tangan Bu Erna. Seketika ruangan guru menjadi hening. Beberapa guru yang sedang asyik mengobrol ikut teralihkan perhatiannya. Bahkan lalat yang sedang mencari penghidupan pun ikut tertegun mendengar suara gebrakan tadi. "Apa kamu bilang? Kamu merasa sebagai murid pintar? Sudah merasa paling pintar?" tanya Bu Erna yang sebenarnya tak mengharapkan jawaban. "Tindakan kamu tadi sudah mengganggu siswa-siswa yang sedang menegerjakan tugas yang telah diberikan" sambung Bu Erna.
"Bu, maaf. Apakah ibu yakin jika mereka benar-benar mengerjakan tugas dari ibu? Bagaimana kita bisa mengerjakan jika kita tidak mengerti. Harusnya ibu bertanya kepada diri sendiri, kenapa nilai siswa selalu kecil jika ulangan. Jangan-jangan karena ibu tidak mengajar kami dengan baik" aku berusaha berbicara dengan tenang untuk menunjukkan kapasitasku. Aku tahu ini akan percuma, dan Bu Erna akan terus melakukan pembenaran.
"Kalau kamu enggak suka dengan cara ibu. Ibu enggak akan masuk kelas kalian lagi!"

Aku terdiam mendengar ucapan itu. Jangan-jangan semua siswa di kelas akan terkena dampaknya. Ini salahku, akulah yang harus bertanggung jawab. Tapi aku tak tahu harus berkata apalagi. Dulu waktu SMP aku pernah mengalami kejadian ini. Trauma. Bedanya dulu orang lain yang melakukan kesalahan dan akulah yang mewakili teman-teman untuk meminta maaf.

"Bu, maaf jika saya dirasa salah. Tapi setahu saya tugas guru adalah untuk mengajar. Bukan untuk memberi tugas. Tugasnya untuk membimbing. Bukan untuk ditakuti. Tugasnya untuk memberi contoh. Bukan untuk mengancam" aku segera bergegas meninggalkan ruang guru. Kulihat ketua murid yang ditemani  Sarah berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelas. Mungkin mereka menguping pembicaraanku dengan Bu Erna tadi. Tapi aku sudah tak peduli. Paling nanti dimusuhi oleh teman-teman sekelas.

Kuurungkan niatku untuk segera memasuki kelas. Kubiarkan gosip itu menyebar di seantero ruangan di kelas. Biar semua orang tahu. Mungkin tidak hanya manusia, kubiarkan hewan, tumbuhan dan mahluk-mahluk gaib membicarakanku. Aku sudah tak peduli lagi. Bahkan jika seluruh orang di sekolah ini tahu aku pun tak akan acuh.

Aku benci dengan hubungan interaksi sosial ini. Terlalu banyak topeng di dalamnya. Orang-orang berbicara tentang perbuatan baik, saling menolong, dan tentang pentingnya menjalankan perintah beragama. Tetapi ketika kesalahan itu dilakukan secara berjamaah. Semua orang mulai kehilangan logikanya. Semua orang tiba-tiba menjadi buta, tuli, lumpuh dan mati.

Sama seperti waktu aku kelas X. Waktu itu aku melaporkan kelakuan teman-teman yang mengcopy paste file ujian komputer orang lain, yang kemudian dirubah namanya dan diakui sebagai miliknya sendiri. Waktu itu aku dimusuhi oleh teman sekelas. Bahkan teman dekatku tidak berani mendekatiku karena takut akan dampaknya.

Parahnya lagi ketika pulang sekolah aku hampir dikeroyok oleh teman-teman pria. Ya, mereka yang kadang aku berikan contekan, aku bantu mempelajari materi yang tidak mengerti malah berbalik mau menghabisi aku. Apakah ada yang membela? Tidak! Interaksi sosial merupakan hal terumit bagi jiwaku. Aku tak percaya akan teori Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Sepertinya tidak ada ruang untuk orang seperti aku hidup di dunia ini.

Tak terasa ayunan langkah kakiku membawaku pada deretan warung-warung yang berbaris rapi. Ya, kantin sekolah. Aku duduk dibangkunya. Cukup sepi. Tapi ada beberapa siswa yang masih saja jajan di sini. Mungkin karena sedang tidak ada guru, atau mungkin pada dasarnya mereka ini nakal. Aku duduk di salah satu kantin langgananku.

"Kenapa murung gitu Phi?" tanya Bibi Warung kepadaku.
"Ada masalah Bi"
"Setiap orang pasti punya masalah. Mempunyai masalah itu bukanlah sebuah kesalahan, yang salah itu kalau murung ketika terkena masalah"
"Hehe.... ini malah ketiga-tiganya. Punya masalah karena kesalahan sehingga murung Bi"
"Memang masalah apa?"
"...." aku diam tak berkata, malu untuk mengatakan.
"Masalah cinta? Bukannya Dek Phi punya pacar banyak?"
"Bukan masalah itu. Ini ada masalah sama Bu Erna" jawabku sambil mengalihkan pandangan.
"Masalah apa?" tanya Bibi warung sambil mengkerutkan keningnya.
"Bu Erna kan ceritanya tidak masuk kelas. Terus memberi tugas ke anak-anak. Nah, saya berinisiatif menggantikan peran Ibu dalam mengajar. Eh, malah dimarahin karena dianggap mengganggu siswa lain yang sedang mengerjakan tugas"
"Lalawora tudana. Bu Erna itu kalau enggak salah sedang terbelit masalah keluarga. Jadi wajar kalau mungkin banyak pikiran sehingga tidak masuk kelas"
"Yeeehhh.... Bibi malah ikut menyalahkan. Emang Bu Erna punya masalah apa?"
"Hehe.... Bukan menyalahkan. Kalau yang Bibi tahu sih beliau mau cerai dengan suaminya. Jadi mungkin pusing memikirkan masalah itu"
"Serius Bi?"
"Ngapain Bibi bohong? Yang Bibi dengar sih begitu infonya. Kantin kan tempat sumber informasi"
"Hehe.... bener juga. Bibi kan ratu gosip"
"Husss.... Bibi gini-gini juga berperan sebagai intel di sekolahan. Sering ditanya informasi penting baik oleh siswa maupun oleh guru"
"Hehe.... iya deh. Maaf. Terima kasih ya Bi atas informasinya. Phi mau ke kelas dulu"

Aku segera bergegas menuju kelas. Waktu itu perasaanku berkecamuk. Antara iba, kesal dan benci. Entah mana yang benar, dan mana yang harus aku tunjukkan sebagai bahasa tubuh. Seharusnya, jika memang benar Ibu Erna sedang ada masalah maka masalah itu jangan dibawa ke kelas. Dia harus profesional. Tapi mungkin itulah sifat manusiawinya manusia.

Aku melihat pintu kelas tertutup. Mungkinkah ada guru yang masuk? Kudorong pintunya, dan ternyata tidak ada guru. Semua mata teman-teman tertuju padaku. Sudah kukira ini akan terjadi. Mungkin ini waktu yang tepat untuk dipukuli teman-teman sekelas.

"Phi digimanain aja sama Bu Erna?" tanya Ardi padaku.
"Hehe.... cuma ditanya hobi sama jenis kelamin"
"Haha.... dikiranya mau ngasih kado" celetuk Qua.
"Kami sudah tahu kok apa yang terjadi" ujar Nita. "Tadi Sarah dan ketua murid, Aneu, cerita semuanya"
"Maaf...." jawabku sambil tertunduk. "Aku akan berusaha bertanggung jawab"
"Hihi.... enggak usah dipikirkan. Kami enggak menyalahkan kamu kok. Enggak apa-apa kalau nanti nilai fisikanya kosong di rapor. Paling kita enggak naik kelas semuanya. Tapi mungkin enggak sih? Bisa jadi kasus se-Indonesia kan. Jadi kita tenang saja"
"Hehe.... terima kasih. Sekali lagi maaf sudah menyusahkan"
"Tenang saja. Malah Phi sudah memberikan kado untuk kita semua. Sekarang tidak ada lagi guru fisika dan tugas-tugasnya. Haha.... pasti menyenangkan!" Jawab Aneu.
"Sekali lagi, terima kasih semuanya...." Tidak terasa saat itu pun air mataku terjatuh.
(Bersambung)
Gambar Ilustrasi

0 komentar :

Posting Komentar

Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat