Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal terbit: 9 April 2014
Hari ini Indonesia kembali melakukan sebuah kegiatan yang bernama "pesta demokrasi'. Kegiatan yang dilakukan lima tahun sekali. Oups, mungkin saya lupa. Sekarang bukan lima tahun sekali, tetapi lebih sering lagi. Pemilihan kepala desa, bupati dan gubernur sekarang dilakukan secara langsung. Jadi wajar saja jika 'kesakralan' pemilu sudah mulai luntur: TPS tidak seramai dan semeriah dulu.
Biaya yang diperlukan untuk sesuatu yang namanya demokrasi ini bukan main-main besarnya, Rp.151 triliun (sumber: TEMPO), jika diubah ke dalam angka jadi Rp.151.000.000.000.000. Angka 'nol' nya banyak bukan kepalang bukan? Itu tentu saja hanya hitungan kasar, hanya dana yang dikeluarkan KPU. Sedangkan dana lainnya seperti biaya kampanye partai, pengamanan pemilu, biaya perpecahan bangsa dll. belum dihitung. Kaya sekali bangsa ini.
Pertanyaan selanjutnya mulai muncul, apakah memang angka semahal itu yang harus dibayar negara ini demi sebuah demokrasi? Rp.151 triliun untuk pemilu, belum lagi biaya pemilihan kepala daerah. Waras atau gila?
Uang sebanyak itu bila kita belikan ke alat pertahanan dapat membeli 650 jet Sukhoi SU-35 (1 jet = 23 miliar), jika digunakan untuk meningkatkan kualitas transportasi dapat membeli 57.500 bus besar (1 bus = 2 miliar), jika digunakan untuk infrastruktur bisa untuk membangun 2000 Km jalan baru (data kementrian PU), jika dipakai untuk pendidikan bisa untuk membangun 15.000 sekolah berstandar Internasional (1 sekolah = 10 M), jika dibagikan ke semua desa di Indonesia maka setiap desa mendapat 1,5 miliar (jumlah desa di Indonesia 78.609 desa). Inikah harga demokrasi di Indonesia?
Baiklah jika ini dianggap sebagai harga yang pantas. Tapi sebenarnya adakah cara yang lebih efektif lagi? Ada satu pembodohan yang sebenarnya tidak disadari oleh rakyat Indonesia; mengenai sistem pemilihan yang menggunakan surat suara.
Sebelum pemilu tahun 2004 silam, para peneliti LIPI mengusulkan jika Indonesia sebaiknya menggunakan sistem E-Voting. Setiap desa diberikan komputer sebagai pengganti surat suara, layar sentuh. Tinggal 'toel' maka pilihan yang kita inginkan langsung terinput ke database. Banyak kelebihannya, yang paling penting: tidak usah cetak surat suara setiap ada pemilihan umum atau pemilihan kepela daerah. Apa yang dihemat? Biaya korupsi tender barang, biaya distribusi, mencegah kerusakan hutan (kertas?), dll. Di dunia ini E-Voting baru 5 negara saja yang menerapkannya: USA, Kanada, India, Belanda dan Spanyol.
Memang di awal pengadaan akan menghabiskan uang yang lebih banyak. Tapi untuk 3 periode pemilu saja dapat menghemat anggaran sampai 60%. Menghemat sekitar Rp.300 triliun uang negara. Ups, maksudnya uang rakyat.
Lalu bagaimana dengan ide brilian ini? Ternyata KPU dan anggota dewan yang terhormat ramai-ramai menolaknya pada tahun 2004, bahkan pada pemilu selanjutnya.
Mungkin inilah harga demokrasi di Indonesia, demokrasi yang kebablasan. Demokrasi yang pinternya keblinger. Demokrasi yang penuh dengan basa-basi. Demokrasi atau Demo Crazy?
Gambar Ilustrasi
0 komentar :
Posting Komentar
Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat