Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 18 Januari 2015

[Cerbung] Penantian 1000 Tahun Eps. 8: Himalaya

Tanggal terbit: 18 Januari 2015

Sebelumnya, Penantian 1000 Tahun Episode 7: Cumulonimbus


Ada sebuah bait prosa yang diceritakan oleh nenek moyangku secara turun-temurun. Dilanjutkan terus dari mulut ke mulut hingga sampai ke telingaku saat ini, menggetarkan gendang telingaku. Memaksanya sedikit beresonansi. Maukah kau mendengar bait prosa yang menurutku indah ini? Isinya tentang kebahagiaan. Seperti inilah isinya:

Jika ingin bahagia satu jam saja dalam hidup anda, maka tidurlah,
Jika ingin bahagia sehari saja dalam hidup anda, maka bermainlah,
Jika ingin bahagia satu tahun saja dalam hidup anda, maka berdoalah,
Tetapi jika anda ingin bahagia seumur hidup anda, maka cobalah untuk membahagiakan orang lain.

Indah bukan isinya? Tapi lebih indah lagi jika kita bisa memahami artinya. Mungkin karena itulah aku ingin menceritakan sekelumit kisahku padamu, wahai generasi muda. Dengan seadanya, sesederhana mungkin, dan semoga kau tidak mengalaminya.

Ceritaku berlanjut di Bulan Desember, akhir tahun 2006. 


Episode 8
Himalaya

"Cinta itu tidak berarti harus saling memandang. Cinta itu artinya bersama-sama melihat arah yang sama" -Antoine de Saint-Exupery

Ternyata baru aku sadari. Setelah diamati. Ternyata hukum gravitasi tidak berlaku bagi mereka yang sedang melayang karena jatuh cinta. Gumamku dalam hati. Ketika jatuh cinta, semuanya tampak menjadi benar. Pegangan tangan, berpelukan, bahkan berciuman. Seolah itu menjadi benar dan sudah haknya orang yang berpacaran.


Itulah sebabnya aku benci jatuh cinta. Mungkin sebaiknya tidak mengenal apa itu yang namanya jatuh cinta. Rasa jatuh cinta selalu mendorong kita untuk memiliki apa yang kita sukai. Lalu pada akhirnya memaksa kita untuk menjadi lalim, posesif, semena-mena dan diktator. Seperti Raja Nero di Romawi.


Namaku Afrodit, 16 tahun. Lebih muda satu tahun dari umur seharusnya anak kelas XI SMA dan aku belum pernah sekalipun pacaran. Senang? Tentu. Menyiksa? Pasti. Aku senang karena aku memiliki kebebasan yang tidak dimiliki orang-orang yang berpacaran. Lalu begitu menyiksa karena aku harus menyembunyikan perasaanku terhadap orang yang aku sukai.


"Ehmmm.... " gumaman seseorang membangunkanku dari lamunanku, ilusi kenyatan yang kubuat sendiri. Kulirik sumber suara itu berasal, ternyata itu Phi.

"Ada apa Phi?" tanyaku padanya.
"Maaf.... "
"Maaf kenapa?"
"Penghapus yang tadi aku pinjem dari kamu malah hilang".
"Hilang lagi?".
"Hehe.... ".
"Iiih... Phi. Orang yang paling nyebelin".
"Kan udah minta maaf. Kata agama juga kalau ada yang minta maaf harus dimaafkan".
"Tapi ini keseringan".
"Mungkin inilah yang namanya takdir" celetuk Phi seperti tidak merasa bersalah.
"Iya benar, takdir buruk".
"Eh, Afro, gimana kalau misalnya aku jatuh cinta sama kamu?"
"Hah? Kok Phi bilang kayak gitu?"
"Kan misalnya. Bakalan diterima enggak?"
"Heemmm.... gimana ya. Enggak mau ah"
"Enggak mau sama Phi?"
"Bukan itu.... Tapi enggak mau pacaran"
"Harusnya dengerin alasannya dulu"
"Oke, Afro pingin tahu kenapa alasannya"
"Alasannya, karena Afro itu indah"
"Kamu mencintai aku karena aku indah, atau aku indah karena kamu mencintai aku?"
"Hemmm.... pertanyaan yang sulit"
"Segitu aja enggak bisa jawab"
"Afro bakalan seneng kalau Phi jawab apa?"
"Ya harusnya Phi jawab kalau aku indah karena kamu mencintai aku"
"Ya udah, Phi ambil yang itu jawabannya"
"Ihhhh... sshhhh...." jawabku dengan kesal.
"Katanya bakalan senang"
"Tapi itu kan udah telat. Harusnya jawab itu dari awal"
"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali"
"Hehe.... iya bener juga. Terus apakah kamu mencintaiku karena rupaku?"
"Iya"
"Tuh kan dasar playboy! Jika Phi mencintai Afro karena rupa Afro, bagaimana caranya Phi bisa mencintai Tuhan yang tidak berupa?"
"Kok jadi membandingkan cinta kepada manusia dan cinta kepada Tuhan. Itu dua hal yang berbeda. Dimensi cintanya juga beda. Horor sekali kalau ada seseorang yang tetap cinta terhadap wanita yang tidak berupa. Fisik atau rupa itu penting Afro...."
"Tetap aja enggak bisa gitu, yang penting itu hati!"
"Kok Afro semakin marah-marah, kan dari awal juga Phi bilang ini semua misalkan"
"Oh.... lupa" aku tersipu malu mendengar ucapan dari Phi. Benar juga, kenapa mesti aku menanggapi ucapan Phi dengan serius.


*****

Hari ini, hari terakhir di kalender pendidikan semester ganjil di kelas XI. Wali kelasku, ibu Yani masih belum tampak batang hidungnya. Aku sedikit gugup hari ini. Aku takut nilaiku tidak seperti yang aku harapkan. Tapi apa iya hasilnya akan buruk? Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin.

Di bagian belakang kelas masih diisi dengan anak-anak yang ribut membaca majalah 'ilegal' dari Phi. Isinya sepertinya tentang prediksi peringkat kelas nantinya. Beberapa siswa juga ada yang terlibat pertaruhan. Sebenarnya apa yang ada di dalam otak Phi. Buat apa dia bikin majalah sendiri dan hanya dikonsumsi oleh teman-teman kelasnya sendiri. Sungguh menghabiskan waktu dan tenaga. Tapi sepertinya dia tidak peduli akan masalah itu.

"Assalamualaikum anak-anak" suara Ibu Yani terdengar menyapa dari depan kelas.
"Wa'alaikum salam Wr. Wb." jawab anak-anak serempak.
"Mohon maaf Ibu datang terlambat. Hari ini Ibu akan membagikan rapor semester ganjil"
"Ibu tolong sebutkan peringkat kelas dulu Bu" ujar Phi dari kejauhan.
"Perlu?"
"Perlu...." Jawab beberapa anak secara serempak. Ini pasti yang jawab adalah anak-anak yang ikut taruhan peringkat kelas, gumamku dalam hati.
"Baik, peringkat pertama di raih oleh ketua kelas, Legi Apriyani". Semua orang tampak bertepuk tangan. Unik sekali, padahal Legi tidak terlalu vokal selama ini. Ternyata kamu kalah Phi.
"Peringkat kedua diraih oleh Phi Gaus Gibbs, ketiga Afrodit Flowdestia, keempat Nita Andriani dan kelima Sarah Aini"
"Hebat kamu Phi" ujar Adrian, salah satu pendukung Phi selama ini.
"Untuk selanjutnya silakan ambil rapornya di depan ya"

Sejurus kemudian beberapa siswa maju ke depan untuk mengambil rapornya masing-masing. Sepertinya "si raja nyontek" -sebutan untuk Phi- sedang sibuk menyalami teman-temannya. Apa yang harus kamu rayakan dari sebuah kemenangan yang kamu raih dengan lumpur dan dosa?

"Tenang-tenang semuanya, ini baru 30% kemampuan. Hehe..."
"Kamu perwakilan pria di sini, semester depan jangan kalah Phi" ujar Qua.
"Hehe.... Kali ini kalahnya hanya karena mengalah saja"
"Phi, Ibu lupa memberi tahu. Nilai olahraga kamu kosong. Kamu diharuskan menghadap guru olahraga" hardik ibu Yani dari depan kelas.
"Kosong bu?"
"Iya katanya kamu enggak masuk sekali pelajarannya pas tes. Nanti coba hubungi ya"
"Oh iya bu. Hehe...."

Apa? Di mendapat peringkat dua padahal nilainya kosong satu? Ini benar-benar hari terburuk dalam hidupku. Puncak kekesalan, sangat tinggi puncaknya. Oh bukan, ini bukan hanya puncak. Ini adalah suatu wilayah yang terdiri dari beberapa puncak kekesalan. Ini adalah Himalaya.
(Bersambung)
Gambar Ilustrasi

0 komentar :

Posting Komentar

Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat