Oleh: H. E. T. Ruseffendi
Tanggal terbit: 17 Juni 2012
Penerbit: EDUCARE: Jurnal pendidikan dan budaya [Bisa diakses di http://educare.e-fkipunla.net]
Update: 6 Mei 2014 [Oleh Rofa Yulia Azhar]
Update: 6 Mei 2014 [Oleh Rofa Yulia Azhar]
Apakah penelitian kelas itu? Penelitian kelas adalah penelitian pembelajaran di dalam kelas untuk perbaikan. Penelitian kelas terjemahan dari classroom reseach. Kata lainnya adalah penelitian praktis (practical inquiry). Pada umumnya, penelitian kelas dilakukan oleh guru beserta pengamat (observer); mungkin temannya. Penelitian yang dilakukan mungkin mengenai teknik bertanya, pendekatan pengejaran, distribusi pemberian kesempatan untuk ditanyai atau bertanya, tenggang waktu berpikir dalam menjawab pertanyaan, dan sebagainya yang pada garis besarnya dalam pembelajaran bidang studi. Mengingat hal itu, yang terlibat dalam penelitian kelas (dosen, pembimbing, pengamat, dll.) semestinya orang yang keahliannya dalam pembelajaran bidang studi. Sebagai guru, ia dapat melakukan sendiri penelitian kelas. Ia bisa menganalisis prilakunya selama ia mengajar. Menganalisis kegiatan belajar mengajarnya, melalui rekaman pandang dengar yang dipasang/beroperasi secara otomatis atau dibuat oleh pengamat. Mungkin juga analisis pembelajarannya itu tdak melalui rekaman, tetapi melalui pengamat dan guru itu sendiri. Akan tetapi, sesuatu kebaikan atau kekeliruan yang hanya bisa diketahui oleh pengamat (tidak oleh guru juga), mendiskusikannya mungkin akan menimbulkan permasalahan. Jadi, dalam penelitian kelas semacam itu orang yang akan merekam pandang dengagar dan yang akan mendiskusikan hasil perkamannya dengan guru sangatlah diperlukan. Mengingat hal itu, antara pengamat dan guru, pertama harus ada kesepakatan dulu mengenai apa-apa yang dibicarakan (demi peningkatan). Kedua, suasana pengamatan itu supaya menyenangkan (rileks), tidak tegang, guru tidak merasa dinilai, saling mempercayai, dan yang serupa. Ketiga, pengamat supaya lebih banyak memberikan masukan demi perbaikan pembelajaran; bukan melontarkan kritikan-kritikan berdasarkan judgment. Ketiga, kalau diperlukan, ada kesepakatan tentang apa-apa yang akan diamati pada perekaman berikutnya. Tahap penelitian kelas itu ada tiga fase. Pertama, fase persiapan. Dalam fase ini, guru membuat persiapan pengajaran sekaligus membuat kesepakatan dengan pengamatan mengenai apa-apa yang akan diungkapkan dalam penelitian itu. Fase kedua, guru mengajar mengenai kejadian selama mengajar mengenai apa-apa yang disepakati sebelumnya, sebaiknya rekamannya dibuat, tidak hanya dicatat. Fase ketiga, mendiskusikan hasil observasi mengenai kejadiankejadian selama menagjar dan berkenaan dengan apa yang telah disepakati akan diungkapkan di fase persiapan. Dalam fase ketiga ini mungkin ditemukan hal-hal yang belum baik sehibgga diperlukan perlakuan ulang. Bila demikian dapat dilakukan penelitian putar an kedua. Dalam penelitian kelas, subjek yang menjadi objek penelitian adalah siswa di kelas tertentu. Jadi, dalam penelitian kelas itu tidak terjadi/dilakukan prosedur penelitian kelas itu tidak terjadi/dilakukan prosedur penelitian sebagaimana mestinya, seperti: menentukan populasi, memilih sampel, merumuskan hipotesis, menggunakan instrumen yang baik, memilih ukuran statistik yang tepat, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan secara umum. Karena itu, generalisasi dalam penelitian kelas tidak ada. Validitas internalnya pun mungkin tidak terkontrol.
Mengingat hal itu, oleh para ahli peneliti, penelitian kelas itu sering dianggap bukan penelitian yang sebenarnya. Walaupun begitu, untuk kepentingan peningkatan kemampuan guru, peningkatan penguasaan siswa, dan pelurusan-pelurusan tertentu dalam pembelajaran sangat berguna. Kadang-kadang lebih berguna atau lebih penting daripada penelitian yang secara prosedural telah mengikuti langkah-langkah formal penelitian. Sebab: 1. Permasalahan yang dipecahkan dalam penelitian kelas adalah permasalahan yang aktual, misalnya memecahkan persoalan kekurangmampuan guru dalam menerapkan metode penemuan. 2. Hasil penelitian kelas dapat mendukung langsung pembelajaran yang sedang berjalan. 3. Penelitian kelas dapat digunakan guru atau guru-guru untuk saling membantu dalam meningkatkan profesinya. 4. Peneliti untuk penelitian kelas tidak memerlukan pengetahuan dan kemampuan penelitian yang luas dan dalam sebagaimana biasanya dimiliki oleh seorang peneliti umumnya. 5. Penelitian kelas yang dilakukan dengan sendirinya tidak akan mengganggu kelancaran pelajaran sebab, penelitian kelas dan pembelajarannya itu berjalan secara simultan. 6. Waktu, tenaga, dan biaya yang dipergunakan untuk meneliti dalam penelitian kelas oleh guru akan lebih efisien. 7. Bagi mahasiswa, guru, penelitian kelasnya dapat diangkat menjadi penelitian bagi skripsi yang bersangkutan. Marilah kita lihat beberapa contoh permasalahan yang dapat dipecahkan melalui penelitian kelas. Pertama adalah toleransi guru terhadap jawaban atau pertanyaan yang sepele. Kedua adalah keseimbangan dalam menggunakan pertanyaan tipe tertutup dan tipe terbuka. Ketiga adalah keruntunan dalam menyelenggarakan pembelajaran. Keempat adalah ketepatan guru menggunakan berbagai contoh dan non contoh sehingga konsep yang sedang ditanamkan kepada siswa itu menjadi lebih jelas. Keenam adalah strategi dan taktik pengajaran sehingga tahap berpikir geometri siswa yang tadinya belum sampai kepada tahap pengurutan menjadi ada di tahap pengurutan. Ketujuh adalah strategi dan taktik pengajaran bagi siswa yang hukum kekekalan bilangannya belum dimiliki menjadi dimiliki. Kedelapan adalah strategi dan taktik agar siswa memiliki jiwa eksploratif. Kesembilan adalah mengungkap pengetahuan dan kemampuan siswa dalam menunjukan kebenaran sesuatu melalui bukti. Kesepuluh adalah rendahnya prestasi
belajar siswa SMU dalam matematika khususnya dalam geometri. Seperti sudah dikemukakan, dalam penelitian kelas itu tidak perlu adanya studi literatur yang banyak dan dalam, penentuan populasi, pemilihan sampel, dan lain-lain.
Walaupun begitu, permasalahannya harus ada dan cara pemecahan yang akan dilakukan harus jelas. Ambil contoh permasalahan pertama, yaitu toleransi guru terhadap pertanyaan dan jawaban siswa yang sepele. Andaikan seorang guru belum mengetahui, apakah ia selalu tolerans terhadap pertanyaan dan jawaban siswa sepele. Selain itu juga ingin mengetahui, seandainya ia sudah melakukan toleransi, apakah ketoleransinya itu sudah cukup baik sehingga dapat menimbulkan kepuasan pada diri siswa yang bersangkutan. Tidak memberi toleransi, kepada pengajuan pertanyaan yang sepele misalnya, kadarnya bisa macam-macam. Kadar yang paling tidak toleransi bila guru memberi komentar misalnya sebagai berikut: ;Yang kamu tanyakan itu semestinya sudah kamu kuasai. Itu pelajaran di SMP. Waktu saya sia-sia saja dipergunakan untuk menjawab pertanyaan itu;. Sedangkan yang paling ringan, misalnya penampakan ketidaksukaan guru tersebut yang tampak dari roman mukanya. Mengingat pada permasalahan itu, untuk berdiskusi, perlu bukti bahwa guru itu mengerutkan muka atau menghardik, maka pada saat guru itu mengerutkan muka atau menghardik perlu dilakukan perkaman terhadap guru. Begitu pula, sikap anak sebagai reaksi terhadap perbuatan guru perlu dicatat. Dalam hal itu tentunya akan lebih baik bila perekaman ada dua; sebuah merekan guru, sebuah lagi untuk merekan siswa. Mungkin anda akan membantah bahwa menghardik siswa, mengerutkan muka bila tidak setuju, dan yang serupa itu bagi guru adalah perbuatan wajar. Jadi, tidak perlu diperbaiki, karena sudah baik. Bila guru yang melakukan penelitian kelas mengenai masalah ini berpendapat seperti anda, pengamat dan guru tersebut perlu mengadakan kesan ditoleransi. Bila tidak, pada fase tiga saat mereka diskusi akan terjadi perdebatan. Tatapi tentu saja dalam mengatakan bahwa sesuatu itu akan mengganggu suasana belajar siswa atau tidak, harus yang berlaku umum dan atau yang berdasarkan hasil penelitian. Maksudanya ialah, penyepelean guru yang akan dirasakan atau tidak oleh
siswa itu harus yang berlaku untuk manusia pada umumnya atau berdasarkan hasil penelitian; bukan yang menurut selera perorangan. Kita lanjutkan dengan contoh kedua yaitu keseimbangan dalam menggunakan pertanyaan tertutup dan terbuka. Sebagai guru yang akan melakukan penelitian kelas ini, mungkin pertama mempunyai asumsi atau berdasarkan kepada hasil penelitian percaya bahwa tipe pertanyaan pada dirinya: ;Apakah dalam mengajar itu saya sudah berimbang dalam menggunakan kedua tipe pertanyaan itu?. Bagaimana itu bisa terungkap? Bagaimana mengevaluasinya? Bila belum berimbang, usaha-usaha apa yang harus dilakukan agar menjadi lebih berimbang? Andaikan ia berpendapat bahwa dalam mengungkap permasalahan itu, ia memerlukan teman yang mengetahui banyak atau ahli dalam permasalahan itu di bidang studinya. (Catatan: dibagian depan sudah dikemukakan bahwa yang terlibat dalam penelitian kelas itu harus yang ahli dalam bidangnya. Dalam contoh ini, yang bukan ahlinya tidak akan mengerti pertanyaan terbuka dan tertutup pada bidang studinya; matematika, misalnya). Ia memilih beberapa teman. Sebagian ditugaskan untuk merekam dan diskusi, dan paling sedikit seorang lagi diperlukan sewaktu diskusi. Kemudian, pada fase pertamanya ia membuat persiapan mengajar. Dengan temannya yang akan menjadi petugas merekam, ia mendiskusikan apa-apa yang akan diungkap, yaitu penggunaan pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Ia harus yakin betul bahwa petugas merekam itu mengetahui betul pertanyaan terbuka dalam bidang studi tersebut. Pada fase kedua, ia mengajar dan apa-apa yang diperlukan diungkapkan, direkam oleh petugas merekam. Pada fase terakhir ia mendiskusikan penggunaan kedua tipe pertanyaan itu dalam pelajaran yang baru saja direkam dengan ahli yang diundang khusus untuk itu dan dengan petugas merekam; apakah sudah benar dan sudah berimbang. Dalam diskusi itu juga mungkin perlu dilihat sikap siswa terutama dalam merespon pertanyaan tipe terbuka. Dan terakhir mendiskusikan penelitian kelas putaran berikutnya bila saja, dalam penelitian siklus (putaran) pertama hasilnya belum memuaskan.
Kita lanjutkan dengan contoh berikutnya sebagai contoh ketiga, yaitu mengenai pengetahuan dan kemampuan siswa dalam menunjukan kebenaran sesuatu melalui bukti. Andaikan guru yang akan melakukan penelitian kelas itu membaca suatu artikel bahwa anak-anak Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal di Olimpiade Matematika Internasional itu tidak tuntas. Maksudnya ialah, bila misalnya diminta untuk mencari jumlah bilangan ganjil (asli) pertama, mereka hanya samapai kepada menunjukan rumus yaitu n2. Tidak dilanjutkan kepada membuktikan kebenaran rumus itu. Itu adalah masalah dan kalau dibiarkan terus akan merugikan.Jadi perlu dipecahkan melalui penelitian kelas misalnya sehingga kekeliruan itu tidak terjadi lagi. Dalam penelitian kelas seperti ini apakah diperlukan pengamat?. Apakah diperlukan rekaman pandang dengarnya? Saya kira tidak perlu. Sebelum kita mengadakan pengajaran penyembuhan (pengajaran remedial), kita perlu mengetahui apakah betul siswa itu tidak menyelesaikan soal seperti di atas secara tuntas? Kemudian, apakah ketidak tuntasannya itu karena menganggap cara mereka itu sudah benar, karena ketidakmampuannya, atau karena ketidaktahuannya? Setelah mengetahui permasalahannya (ke-1, 2, 3, dan 4), guru melangkah ke fase pertama yaitu membiat persiapan; apa yang akan diungkap, bagaimana mengungkapkannya, apa yang akan disembuhkan/diluruskan, dan bagaimana meluruskannya. Sebelum guru mengungkapkan apa yang akan diungkap, ia melihat teori belajar berkenaan dengan bukti. Bahwa menurut Elliott (1967) hanya 5% dari siswa SMU nya dapat memahami geometri aksiomatik (dalam Ruseffendi, 1990) dimana topik-topik buktikan itu ada. Jadi, siswa yang menjadi objek penelitian semestinya siswa-siswa pandai. Kembali kepada apa yang akan diungkap. Yang akan diungkap adalah pengetahuan dan kemampuan siswa (pandai) mengenai masalah bukti membuktikan. Untuk dapat mengungkapkannya, guru dapat menyediakan beberapa soal yang kebenarannya harus dilakukan melalui bukti. Dalam soal itu perlu disajikan dua penyelesaian soal yang satu secara induktif (tidak tuntas) yang satu lagi secara deduktif (sampai tuntas). Pertanyaan misalnya, mana diantara kedua penyelesaian soal itu yang benar. Setelah itu, siswa diminta untuk menyelesaikan soal-soal pembuktian. Selanjutnya untuk dapat melihat mana yang harus diluruskan, kita perlu tabel seperti tabel berikut ini. Jawaban Siswa Pemilihan Cara Yang Benar Menyelesaikan Soal Secara Deduktif Pelurusan Melalui Pemberian Pelajaran Induktif Tidak Dapat Baru (1) Deduktif Mungkin Tidak Dapat Remedial (2) Dapat Tidak Perlu (3) Bila menurut siswa cara penyelesaian yang benar itu cara induktif, tentunya ia tidak akan dapat menyelesaikan soal secara deduktif. Mengingat hal itu ia perlu diberi pelajaran baru (1). Bila ia memilih cara deduktif tetapi tidak dapat menyelesaikan secara deduktif, ia harus diberi pelajaran remedial topik itu(2). Sedangkan bagi yang memilih cara deduktif dan bisa menyelesaikan secara soal secara deduktif, ini tentunya tidak jadi masalah; dugaan kita keliru (3). Untuk keadaan (1) dan (2) tentunya kita harus melihat keberhasilan belajar siswa melalui evaluasi. Kita lihat sekarang contoh terakhir, yaitu Pembelajaran Diagnostik Geometri. Kita mengetahui bahwa NEM siswa SMU dalam matematika itu rendah. Kemudian kita mengetahui dari pengalaman bahwa masih banyak siswa memahami konsep keliru, lemah dalam tilikan ruang, tidak tuntas menyesaikan soal, dan geometri formalnya lemah. Selain itu, Thurstone (dalam Ruseffendi, 1991) mengatakan bahwa tingginya tilikan ruang merupakan salah satu ciri pintarnya seseorang. Hoffer (dalam Ruseffendi, 1990) mengatakan bahwa pelajaran geometri itu berguna untuk menyeimbangkan otak bagian kiri dan otak bagian kanan. Jadi rendahnya prestasinya belajar siswa dalam geometri itu adalah masalah. Andaikan kita merencanakan penelitian kelas yaitu penelitian pengajaran diagnostik dalam geometri di SMU. Pendekatan yang bisa dilakukan adalah pendekatan: induktif, deduktif, informal, formal, parsial, holistik, teori, realistik, terpadu, dan atau tematik. Dan dari studi literatur kita mengetahui bahwa menurut Van Hiele tingkat pemahaman siswa dalam geometri
dari yang paling rendah ke yang paling tinggi itu adalah pengenalan, analisa, pengurutan, deduksi, dan akurasi (dalam Ruseffendi, 1991).
Andaikan pendekatan yang dipilih adalah formal, deduktif, holistik, dan realistik. Pendekatan formal dan deduktif diambil karena diambil karena siswa SMU itu semestinya sudah berfikir formal. Pendekatan holistik diambil karena bila pendekatannya itu persial, tilikan ruang siswa bisa menghilang (Freudenthal dalam Ruseffendi, 1990). Dan pendekatannya adalah pendekatan realistik karena pendekatan relistik akan lebih bisa dipahami dan lebih menarik daripada pendekatan teoritis. Kemudian tahap pemahaman siswa yang akan dikaji hanya empat buah tahap yang pertama sebab tahap yang terakhir ada di luar jangkauan siswa SMU (Driscoll dalam Ruseffendi, 1990). Penelitian kelas yang akan dilakukan adalah penelitian menganai pengajaran diagnostik. Karena itu, penelitian harus mendiaognosis dulu kesalahan-kesalahan siswa, kelemahan-kelemahan siswa, kebiasaan siswa, minat siswa, dan sebagainya baik secara kelompok maupun perorangan. Andaikan ditemukan bahwa siswa sering mengacau bentuk geometri dengan bendanya, siswa kesukaran menggambar sesuatu dalam ruang, dan kurang bisa menyelesaikan soal secara deduktif. Berdasarkan kepada informasi itu, peneliti membuat persiapan mengajar topik tertentu, misalnya bola (arti, luas, dan sisi). Begitu pula pada fase kedua yaitu fase memberikan pelajaran, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya dari siswa itu harus diperhatikan; juga minat dan kepuasan siswa. Evalusi, terutama bila kurang atau tidak berhasil harus dibahas. Waktu itu juga perlu diputuskan apakah pengajaran putaran kedua akan diadakan atau tidak. Contoh penelitian terakhir itu, walaupun nampaknya seperti penelitian pada umumnya, adalah penelitian kelas sebab, populasi dan sampelnya tidak dibicarakan; menggunakan subjek seadanya. Mungkin saja ada hipotesis, tetapi keberadaan bukan untuk diuji. Bagian terakhir dari penelitian kelas ini, yang akan dibahas adalah perbedaannya dengan penelitian mendesak/tindakan (action research). Mari kita bahas. Sebab, kalau tidak, bisa kacau. Kita lihat definisi penelitian tindakan dalam pendidikan. Dari uraian itu kita bisa melihat bahwa dilakukan penelitian tindakan itu untuk perbaikan sesuatu: pengembangan kurikulum, pengembangan keahlian, program perbaikan, dan lain-lain. Dalam penelitian kelas pun ada kegiatan perbaikan, yaitu pada bagian kedua (bagian pertamanya adalah pengajaran). Perbedaannya adalah pada penelitian kelas apa-apa yang diperbaiki itu mengenai pengajaran sehari-hari di dalam kelas.
Gambar Ilustrasi
DAFTAR PUSTAKA
Ruseffendi, E.T. 1991. Penelitian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khusunya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: Draft (Diktat).
Ruseffendi, E.T. 1990. Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini Untuk Guru dan PGSD- D2. (Seri Keenam).Bandung: Tarsito.
Hokin, D. 1992. A Teacher; Guide to Classroom Reseach (Edisi Kedua). Philadelphia: Open University Press.
0 komentar :
Posting Komentar
Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat