Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 21 Juni 2012

Perkebunan Kelapa Sawit, antara Ekonomi dan Ekologi

Tanggal terbit: 21 Juni 2012
Catatan: Tulisan ini merupakan gubahan dari karya tulis ilmiah yang pernah penulis buat untuk suatu lomba karya tulis ilmiah [untuk kepentingan publikasi format penulisan telah dirubah]
Update: 6 Mei 2014


1.    Pendahuluan
Tulisan lama di BBC (2009) tentang ancaman lingkungan hidup terhadap bumi menjelaskan setidaknya ada enam permasalahan lingkungan hidup yang harus ditemukan jawabannya[1]:
a.    Makanan: diperkirakan 1 dari 6 orang di dunia menderita kelaparan dan gizi buruk
b.   Air: diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga orang di dunia akan mengalami krisis air yang parah
c.    Energi: produksi minyak bumi mencapai puncaknya dan mulai menurun pada tahun 2010
d.   Perubahan Iklim: tantangan terbesar adalah perubahan iklim, yang menyebabkan meningkatnya badai, banjir, kekeringan dan hilangnya spesies
e.   Keanekaragaman hayati: Bumi yang sekarang telah memasuki tahap kepunahan spesies keenam terbesar
f.    Polusi: bahan kimia berbahaya ditemukan di semua generasi baru dan diperkirakan satu dari empat orang di dunia terpapar polusi udara yang tak sehat

Bila terbukti benar apa yang dijabarkan di atas (dan sebenarnya beberapa telah kita rasakan sekarang) maka perlu penanggulangan dan kebijakan yang dibuat oleh semua pihak untuk memecahkan masalah tersebut dan pada masa sekarang dilema hadir dari pengembangan perkebunan kelapa sawit yang menimbulkan berbagai masalah. Di satu sisi perkebunan kelapa sawit telah membantu meningkatkan taraf hidup para petani dan menambah pemasukan devisa negara melalui impor CPO. Selain itu, CPO yang dihasilkan dapat digunakan sebagai energi alternatif (biofuel) pengganti bahan bakar fosil, tapi di sisi satunya lagi, kelapa sawit telah menebar ancaman baru terhadap ekologi berupa kerusakan tatanan tanah, pencemaran udara akibat pembukaan lahan dan air, konflik agraria bahkan sistem perbudakan.

2.   Landasan Teori
Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) berasal dari kawasan tropis Afrika, tersebar di hutan hujan Sierra Leone hingga Kongo, Republik Demokratis Kongo. Spesiesnya dikenalkan pada Malaysia pada awal abad ke-20 dan pertama kali ditanam untuk tujuan komersial pada tahun 1917. 
Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit.
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 Ha. Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda (Indonesia) merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940. Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (lalu Malaysia).
Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.
Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12 m, dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika.


       Gambar 1. Struktur anatomi dari kelapa sawit


Manfaat Kelapa Sawit
Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makanmargarinsabunkosmetika, industri bajakawatradiokulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.
Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin.
Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil inti sawit itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.
Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos.

Spesifikasi Kelapa Sawit
Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi.
Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa.
Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar.
Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya.
Buah terdiri dari tiga lapisan:
a.   Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin.
b.   Mesoskarp, serabut buah
c.   Endoskarp, cangkang pelindung inti

Inti sawit merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi. Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).

Syarat hidup
Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.

Ragam Jenis Kelapa Sawit
Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis: E. guineensis dan E. oleifera. Jenis pertama yang terluas dibudidayakan orang. dari kedua species kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-masing. E. guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan E. oleifera memiliki tinggi tanaman yang rendah. banyak orang sedang menyilangkan kedua spesies ini untuk mendapatkan spesies yang tinggi produksi dan gampang dipanen.  Penangkar seringkali melihat tipe kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang, yang terdiri dari:
§    Dura,
§    Pisifera, dan
§    Tenera.

Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak per tandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang, sehingga tidak memiliki inti (kernel) yang menghasilkan minyak ekonomis dan bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buahnya mencapai 90% dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28%.

3.  Perkembangan Industri Kelapa Sawit dalam Bidang Ekonomi
Kelapa sawit sebagai penghasil minyak sawit dan inti sawit telah menjadi salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjanjikan. Pemerintah juga memberikan perhatian lebih untuk tanaman perkebunan yang satu ini mengingat pendapatan dari sektor devisa non migas sangat besar dan Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar di dunia. Upaya perluasan areal pengembangan industri kelapa sawit terus digalakan. Terliahat dari data selama 14 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 2,35 juta Ha, yaitu dari 606.780 Ha pada tahun 1986 menjadi hampir 3 juta Ha pada tahun 1999.


 
Gambar 2: Areal perkebunan kelapa sawit berdasarkan kepemilikan
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan dalam Casson (2000).

Berkembangnya sub-sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta.
Seiring dengan semakin meluasnya lahan perkebunan kelapa sawit, maka CPO yang dihasilkan berbanding lurus. Berdasarkan data total produksi minyak sawit Indonesia meningkat tajam, yaitu dari 1.71 juta ton pada tahun 1988 menjadi 5,38 juta ton pada tahun 1997. Pada tahun 1998, sehubungan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, produksi minyak sawit turun menjadi 5 juta ton, namun demikian, pada tahun 1999 produksinya kembali meningkat menjadi 5,66 juta ton.   Wakil menteri Perdagangan Mahendra Siregar mengatakan selama January-Agustus 2010 nilai ekspor sawit Indonesia mencapa US$6,7 miliar atau naik dari periode yang sama tahun lalu yang hanya US$5,6 miliar dengan volume ekspor 4 juta ton CPO.


 
Gambar 3: Jumlah Produksi dan ekspor CPO Indonesia
         Sumber: BPS dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan dalam Casson (2000).

Sementara pertumbuhan sub-sektor industri perkebunan kelapa sawit telah menghasilkan manfaat ekonomi yang penting, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan alam tropis Indonesia. Para investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena mereka mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari areal hutan alam yang dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Kayu IPK sangat dibutuhkan oleh industri perkayuan di Indonesia, terutama industri pulp dan kertas, khususnya setelah produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam produksi, yaitu produksi kayu bulat berdasarkan Rencana Karya Tahunan (RKT) HPH, semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tataguna Hutan (s/d Maret 1998), luas kawasan hutan yang dikonversi untuk tujuan pembangunan perkebunan tahap persetujuan pelepasan seluas 8.204.524 Ha, dan yang sudah mendapat SK Pelepasan seluas 4.012.946 Ha meliputi kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 166.532 Ha, Hutan Produksi Tetap seluas 455.009 Ha, Hutan Produksi Konversi seluas 3.262.715 Ha dan Areal Penggunaan Lahan seluas 129.449 Ha. Kawasan hutan yang telah mendapat SK pelepasan, status kawasannya berubah dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Namun demikian, menurut mantan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution (2000), realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit sejauh ini hanya 16,1% dari total areal hutan konversi yang sudah mendapatkan SK pelepasannya.

4.  Kelapa Sawit dan Pemanfaatannya Sebagai Energi Alternatif
Bahan bakar nabati dalam bentuk biofuel, sebagai sumber energi dewasa ini telah manjadi trend bagi negara-negara maju untuk menekan ketergantungan negara-negara tersebut terhadap bahan bakar fosil yang harganya semakin meroket dan jumlahnya semakin terbatas. Salah satu bentuk biofuel yang dimanfaatkan adalah biodisel. Sumber utama biodisel adalah minyak kelapa sawit dan minyak jarak. Tapi karena faktor efektifitas, kelapa sawit menjadi pilihan utama dalam pembuatan biodisel, mengingat dengan luas areal yang sama, kelapa sawit mampu menghasilkan biodisel dua kali lipat lebih banyak daripada minyak jarak.
Pada umumnya, biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit bisa diturunkan tingkatannya dan saat terbakar, memiliki emisi yang lebih sedikit dibandingkan dengan bahan bakar petroleum tradisional. Biasanya, biofeul ini dicampur dengan bahan bakar petroleum tradisional.

5.  Dampak Negatif Industri Kelapa Sawit bagi Ekologi   
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit bagi ekologi diantaranya:
a.  Keanekaragaman Hayati: persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi yang mengancam keanekaragaman hayati karena pengembangan perkebunan kelapa sawit. Usulan kawasan monokultur yang sangat luas untuk kelapa sawit dapat mengancam musnahnya keanekaragaman hayati legendaris kawasan tersebut - menurut WWF sebanyak 361 spesies hewan telah ditemukan di pulau kalimantan dalam satu dekade lalu - sekaligus menelantarkan penduduk lokal, termasuk suku Dayak, penduduk asli hutan yang terkenal akan keahlian berburu dan melacaknya
b.  Kerusakan Hutan: pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
c.  Pohon Neraka: Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter air tanahv(hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau-T. Ariful Amri MSc). Oleh karena itu, kelapa sawit kadang disebut sebagai pohon neraka oleh para pemerhati lingkungan hidup.
 d.   Emisi Karbon: CPO yang digunakan untuk biodisel akan menyebabkan kerusakan hutan akibat konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejumlah aktifis lingkungan memperkirakan industri biodisel di Indonesia akan mengulangi kesalahan seperti yang telah dilakukan oleh industri pulp dan kertas selama ini dalam memberikan andil terhadap kerusakan hutan. Laporan Friend of Earth tahun 2006 menyebutkan antara tahun 1985 hingga 2000, 4 juta hektar hutan telah diubah menjadi lahan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, sementara 16.5 juta hektar yang lain akan segera menyusul. Dengan demikian, alih-alih menurunkan emisi karbon, program bahan bakar nabati dengan pembukaan hutan justeru memperparah permasalahan yang telah ada.
e.   Seleksi Alam: munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan  karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
f.  Konflik Sosial: terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
g.   Bencana Alam: selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).
h.   Langkanya Makanan dan Naiknya Harga Komoditas: program bahan bakar nabati diperkirakan akan menyebakan naiknya harga komoditi pertanian tertentu, yang akhirnya berdampak pada meningkatnya harga produk pangan yang berbahan baku komoditi tersebut. Sebagai contoh meroketnya tempe akibat naiknya harga kedelai impor, program etanol di Amerika Serikat diyakini sebagai penyebab meroketnya harga komoditi jagung di negara tersebut hingga dua kali lipat dalam satu tahun terakhir. Dengan demikian sangat beralasan jika pemanfaatan biodisel dari minyak kelapa sawit akan berpengaruh langsung terhadap harga bahan kebutuhan pokok, yaitu minyak goreng.
i.    Polusi: permasalahan utama dengan minyak kelapa sebagai biodiesel terletak pada bagaimana tanaman tersebut diolah. Di tahun 2001, produksi Malaysia sebanyak 7 juta ton minyak kelapa mentah menghasilkan hingga 9,9 juta ton limbah minyak padat, fiber kelapa, dan batok, serta 10 juta ton limbah yang merusak dari minyak kelapa, yaitu campuran polusi dari batok yang hancur, air, dan residu lemak, yang mempunyai dampak negatif pada ekosistem akuatik. Lebih jauh lagi, penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk berbasis petroleum secara bebas membuat yakin bahwa kebanyakan pengolahan minyak kelapa tak hanya menyebabkan polusi pada tingkat lokal, namun juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konversi hutan tropis menjadi lahan perkebunan, industri kayu dan pembangunan infrastruktur menyumbang 10-30 persen dari emisi gas rumah kaca dunia (Majalah Nature, 2001).
j.    Kerusakan Tanah: perkebunan di Indonesia sangat merusak karenanya setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit kebanyakan ditinggalkan dan menjadi semak belukar. Tanah mungkin akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga beberapa tanaman mungkin tumbuh, menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar.

Indonesia telah mengumumkan rencananya untuk melipatgandakan produksi minyak kelapa mentahnya pada tahun 2025, suatu target yang akan membutuhkan 2 kali lipat peningkatan di hasilnya - sesuatu yang sangat mungkin melihat dari keberhasilan negara tetangganya Malaisya - atau justru memperluas daerah yang akan ditanami kelapa sawit. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Indonesia sepertinya akan menggunakan kedua pilihan yang ada. Sesuai usulan investasi tahun 2005, yang dibuat oleh Perusahaan Perkebunan Negara PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Indonesia akan mengembangkan sekitar 1,8 juta hektar di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, dimana kebanyakan sisa hutan yang lengkap masih ada.
Cina akan terlibat dalam rencana ini, dengan menginvestasikan 7,5 milyar USD di proyek infrastruktur dan energi, termasuk menyediakan modal untuk perkebunan kelapa sawit. Investor Cina secara langsung akan mengendalikan sekitar 600.000 hektar perkebunan kelapa sawit, sementara 1,2 juta hektar akan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Berdasarkan eksplorasi dari konsesi sekitar 100.000 hektar, total biaya yang dibuthkan proyek ini diramalkan oleh Friends of the Earth akan mencapai 8,6 milyar USD.
Proyek ini nantinya akan mempekerjakan hingga 400.000 tenaga kerja dan menghasilkan pemasukan tahunan untuk pajak negara sebesar 45 juta USD. Usulan PTPN ini menyarankan agar perkebunan didirikan di tiga taman nasional, Betung Kerihun (800.000 hektar), Kayan Mentarang (1.360.000 hektar), dan Danau Sentarum (132.000 hektar) serta hutan lindung di sekitarnya dan hutan yang berada dalam konsesi penebangan.

6. Gagasan Solutif dari Dampak negatif yang Ditimbulkan Industri Kelapa Sawit
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran industri perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia sangat strategis, dan para pengusahanya mendapatkan keuntungan besar. Disamping itu, industri perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan lapangan kerja baru, sementara permintaan dunia terhadap minyak nabati dan berbagai produk turunan yang berasal dari minyak kelapa sawit semakin meningkat. Namun demikian, apakah arti semuanya itu bila kehidupan kita terancam akibat semakin rusaknya hutan alam Indonesia? Apakah berbagai kerugian yang terjadi (biaya lingkungan dan biaya sosial yang timbul) dapat dibayar dengan keuntungan yang diperoleh?
Penulis merekomendasikan kepada pemerintah agar segala bentuk konversi hutan alam untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit agar segera dihentikan karena menimbulkan dampak negatif yang lebih mahal harganya dibandingkan manfaat yang didapat. Selanjutnya proses konversi bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan tidur atau lahan kritis yang cukup luas yaitu sekitar 30 juta Ha. Sehingga lahan kritis tersebut bisa bermanfaat untuk lingkungan sekitar tanpa menimbulkan kerusakan yang besar.
Pemamfaatan CPO sebagai energi alternatif juga malah bisa menjadi bumerang bagi negara Indonesia jika sarana pendukung pengolahan energi alternatif belum memadai. CPO yang dihasilkan hanya akan dimanfaatkan ooleh negara maju karena mereka telah memiliki teknologi yang mencukupi untuk mengolahnya.
Seharusnya pemerintah sadar jika mereka telah dibohongi, mengingat hanya 16% dari surat ijin IPK yang direalisasikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu perlu sanksi yang tegas bagi para pengusaha yang hanya ingin memanfaatkan kayu dari hutan alam. Sanksi juga harus dilakukan bagi para pengusaha yang membuka lahan dengan cara membakar hutan. Selain itu, mekanisme konsultasi publik dengan masyarakat adat perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah konflik lahan.

Daftar Pustaka
Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Bahan Ceramah dan Diskusi: Komitmen Indonesia dan Isu-Isu Internasional Tentang Kehutanan dan Perkebunan D-5 Rakernas 2000. Departemen Kehutanan dan Perkebunan: Jakarta.
Bappenas. 2000. Kerugian Ekonomi Kebakaran Hutan Tahun 1997-1998. Bappenas: Jakarta.
Casson, A. 2000. The Hesistant Boom: Indonesia’s Oil Palm Sub-Sector in an Era Of Economic Crisis and Political Change. CIFOR Occasional Paper No. 29. CIFOR: Bogor.
CIFOR Occasional Paper No. 18. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan.1999. Statistik Tahunan Pengusahaan Hutan. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan: Jakarta.
Down to Earth. 1997. The 1997 Fires: Responsibility rests with Suharto. Down to Earth No. 35, November. London.
Gunawan, Totok. 2004. Fakta dan Konsep Geografi. Ganeca Exact: Jakarta.
http://www.bbc.co.uk. Diakses pada 09 Agustus 2009.
http://www.infoenergi.wordpress.com. Diakses pada 28 Februari 2009.
http:// www.wikipedia .co.id. Diakses pada 31 Mei 2011.
Manurung, E.G.T. 2000. Mengapa Konversi Hutan Alam Harus Dihentikan? Makalah disampaikan pada acara Seri Lokakarya Kebijakan Kehutanan, Topik 1: "Moratorium Konversi Hutan Alam dan Penutupan Industri Pengolahan Kayu Sarat Hutang." Diselenggarakan oleh Dephutbun bekerja sama dengan NRMP. Jakarta.
Manurung, E.G.T. dan Mirwan. 1999. Potret Pembangunan Industri Perkebunan Kelapa
Potter, L and Lee, J. 1998. Tree Planting in Indonesia: trends, impacts and directions.
Potter, L and Lee, J. 1998b. Oil Palm in Indonesia: its role in forest conversion and the
Sugandi, Dede. 2005. Geografi. Regina: Bandung.

Catatan Kaki

[1] http://www.bbc.co.uk. Diakses pada 09 Agustus 2009.

0 komentar :

Posting Komentar

Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat