Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 04 Juli 2012

Sebuah Cerita di Pinggir Rel

Oleh               : Sriesti Lestariutami

Tanggal terbit  : 4 Juli 2012

Anak-anak itu masih terlihat ceria, meski entah kapan kehidupan akan mengubah kisahnya. Bagi mereka, hanya dengan memakan makanan alakadarnya sedikit bisa membuat hidup mereka bahagia. Mungkin, Sita tak harus merokok demi mengobati rasa laparnya. Agung tak mesti mengelem demi menyimpan sejenak rasa malu ketika harus ngamen di angkot atau bis. Anak-anak itu masih bisa tersenyum dalam gundah “Besok makan apa?” Ataukah, “Nanti malam harus tidur dimana?” anak itu, masih bisa tertawa dalam galau. “Bagaimana jika ayah dan ibu memarahiku jika tak ada uang hari ini?”
Setiap pagi, mereka bergegas menuju rel kereta di pinggir kota Bandung. Tak peduli sakit ataupun pilu, tetap saja mereka harus mencari uang demi sesuap nasi. Hingga tak ada waktu untuk belajar. Huruf alfabet pun seakan asing dalam hari mereka, apalagi jika harus memahami kata demi kata dalam buku pelajaran. Mereka butuh perhatian dari kita...
***

Andai saja aku bisa seperti mereka, belajar dengan ceria tanpa harus memikirkan hal yang seharusnya tidak aku pikirkan. Aku ingin seperti mereka, bisa  belajar dan bersekolah tanpa harus memikirkan pekerjaan. Namun, inilah aku...satu dari beberapa anak jalanan yang mencari nafkah di kota Bandung. Inilah aku, yang tak jarang harus tidur di lorong-lorong kecil dekat rel hingga seakan tak ada siang ataupun malam dalam hidup ini, hari-hari seperti bertemakan gelap. Dalam malam, aku harus berlomba dengan banci yang merajalela di pinggiran kota, ketika tubuhku lelah membutuhkan istirahat sejenak. Dalam siang, aku harus mencari uang dengan melantunkan lagu bernada sumbang.
Pernah terpikir dalam benakku, mampukah aku bangkit dan menjalani hidup dengan semangat? Apa aku bisa bersekolah seperti orang-orang yang aku temui ketika pagi tiba dan malam menjelang? Apa aku mampu mengubah hidupku? Ataukah, memang aku terlahir sebagai pengamen yang akan menjemput  takdir seorang pengemis?
Meski hidupku luntang-lantung, namun ternyata masih ada yang memperhatikanku, tepatnya memperhatikan kami sang pengamen jalanan. Setiap hari minggu mereka datang mengunjungi kami sang pengamen jalanan. Meski terkadang kehadiran mereka membuatku tak nyaman, tetapi mereka seperti malaikat dalam gelapnya hidup kami, mereka membawa cahaya yang kami rindukan, dalam lubuk hati terdalam. Mereka mengajarkan kami arti hidup dan bagaimana menjalani hidup.
***

Suatu pagi di pinggir rel, ku duduk di atas rerumputan hijau, menerawang menjelajahi birunya langit kota Bandung. Di sudut mata sayuku terlihat sosok yang tak asing lagi bagiku, juga bagi teman-temanku sang; anak jalanan.
 “Mereka datang lagi” kata Candra yang telah ku anggap sebagai adik, penuh semangat.
 “Aku pergi” Ku simpan dulu lamunanku karena kehadiran mereka,
 “Naya” Candra memanggilku sebari memegang tanganku, menghentikan langkahku. Jujur, aku tak pernah menyukai mereka. Bagiku mereka tak lain hanyalah si gerombolan aktivis pencari sensasi. Sok perhatian, bahkan terkadang sok mengajarkan sholat dan ngaji kepada kami. Menyebalkan! Sudah tahu pekerjaan kami adalah pengamen dan pengemis, sok ngajarin jadi orang sholeh segala. Tak ada waktu untuk kami melakukan hal-hal yang mereka ajarkan. Ku urungkan niatku karena anak kecil itu, ku simpan dulu rasa benciku karena adik kecilku, Candra. Tak apalah, paling tidak aku bisa melihat bagaimana cara mereka mengajari teman-temanku.
 “Assalaamualaikum...” Tak kusadari ternyata mereka sudah di depanku. “Wa’alaikumussalam...” Ucap Candra dengan semangat bersamaan dengan teman-teman lain yang langsung menghampiri mereka dalam keceriaan. Aku hanya terdiam membisu, menyimpan rasa tak sukaku dalam dada. Paling tidak ini demi adikku Candra, seorang pengamen kecil yang sangat ingin belajar membaca dan menulis, katanya ingin jadi seorang penyanyi yang bisa menulis lagunya sendiri. Anak itu memang semangatku dalam kesendirian di kota kembang ini.
***

Namanya Risty, dia adalah salah satu pengajar anak jalanan di pinggir rel. Awal bertemu aku tak menyukainya, bahkan melihat wajahnya pun aku tak mau. Namun, karena kesabaran dan nekad kerasnya mengajari kami, lambat laun aku mulai menyukainya hingga tak jarang aku mencurahkan kisah hidupku padanya. Seperti hari ini, dalam pengaruh lem yang sedari tadi menggoda hidung dan fikiranku, tanpa kusadari kucurahkan segala yang ada dalam dada. Tentang aku dan ibu, yang sebenarnya dalam mimpi pun aku tak mau mengingatnya.
 “Malam itu, hatiku seperti diguncang angin topan yang meluluhlantahkan jiwa dan raga. Aku heran pada sikap ibu, bahkan mengunjungi kami ketika ayah kritis pun tidak. (“Bu, Naya mohon! Pulanglah walau sebentar, ayah kritis dan sekarang sedang di rumah sakit”. Ucapku dalam tangis). (“Ibu sedang dinas, tidak bisa ditinggalkan Nak!” Ucap ibu lembut tapi bagiku begitu kasar. Semenjak ibu memutuskan untuk kerja kantoran, dia seakan melupakan keluarganya. Aku benci pada ibu, aku benci pada pekerjaannya. Hatiku terlalu tak bisa memafkannya, dia begitu tega. Bahkan hingga ayah menutup mata ibu tak kunjujng datang. Memang kulihat tangis dalam harinya, sebuah penyesalan yang tak berharga. Sering kulihat ibu menangis di pusaran ayah, namun bagiku tetap saja dia bukan ibu dan istri yang baik. Dia meninggalkan kami demi pekerjaan ketika kami membutuhkannya.” Kupaparkan ceritaku dalam tangis yang kian meledak.
 “Lalu?” Mba Risty menuggu suara parauku keluar lebih lebar lagi.
Ku teruskan dalam luka yang seakan terbuka kembali, sakit kurasa meski pengaruh lem sedikit menghilangkan rasa sakitku, “Pagi gulita, kuputuskan untuk meninggalkan rumah. Ketika ibu bisa tak peduli pada ayah, mungkin ia pula akan tak  peduli padaku. Aku tak peduli meski ia akan mencariku, karena aku tak bisa memaafkannya. Memaafkan istri yang tak ada ketika suaminya sakit, ibu yang tak tak ada ketika anaknya membutuhkan. Dengan penuh rasa sesak dalam dada, kutinggalkan kota Bogor, menjauh hingga sampailah aku di Bandung dan mereka menemukanku dalam ketidaksadaranku dan luka di batinku, teman-temanku, pengamen jalanan.”
Bersama kisah yang rutin menghampiriku juga teman-temanku, mereka hadir membawa kasih tanpa batas. Paling tidak aku merasa diperhatikan, dan mungkin akan segera berubah. Sudah tak ada lagi sholat yang ku tinggalkan, sudah tak ada lagi obat yang ku makan, minuman keras pun sudah ku tinggalkan juga aku seakan merasa mual jika harus menghirup lem lagi. Semoga ini awal hidupku yang baru ya Rabb,hidup dengan lebih baik. Mungkin aku bisa mulai bekerja yang layak, dan tentunya aku harus bisa memaafkan ibu.
***

Kota kembang masih dibasahi embun, ku langkahkan kakiku menuju rumah ku yang dulu. Di pinggir kota Bogor aku mulai menelusuri rumah demi rumah, melewati gang-gang menuju tempat yang tak asing lagi bagiku, tepatnya 2 tahun lalu. Di akhir langkahku, terlihat rumah mewah tak terurus. Ku hampiri, semoga ini memang rumahku yang dulu, semoga aku bisa bertemu dengan ibuku. Rasa kangen itu tiba-tiba membuncah menyibakkan berjuta rasa nan mempesona. Hatiku dihantam kebahagiaan tiada tara ketika ucapan salamku ada yang menjawab. Ku dekati pusat suara, apakah itu suara ibu yang telah lama tak ku dengar? Mungkin ibu sudah terlalu tua hingga suara yang terdengar seakan tak jelas menyentuh telingaku.
 “Eh, neng Naya...” Suara itu menyapaku, ternyata bi Iin pembantu ibu yang menghampiriku.
 “Ibu??” pertanyaanku menyekakan tangis di wajah bi Iin.
 “Nyonya, nyonya...”
 “Ibu kenapa Bi?” Aku semakin tak menentu.

Tak ada lagi kata yang terungkap dari bi Iin, hingga ia mengantarkanku pada sebuah pusaran tepat di dekat pusaran ayah.
“Di detik terakhirnya, nyonya hanya ingin neng Naya memaafkannya” Ucap bi Iin dalam sepi. Tangisanku membuncah. Astaghfirullah...
Ketika ayah pergi, tak ada ibu di sisinya dan ketika ibu pergi aku pun tak sempat melihatnya, dalam detik terakhirnya. “Maafkan aku yang baru bisa memaafkanmu, maafkan aku yang hanya bisa melihat pusaranmu dalam pedihku.”

***

Senja itu, ku berlari bersama guyuran hujan dan kilatan cahaya yang menyambar cakrawala. Tak tahu entah kemana aku harus pergi, dunia ini seakan gelap bagiku. Tak ada lagi senyum yang bisa ku lihat dari wajah penuh kasih itu¸ tak ada lagi nasihat bernada tinggi menemui telingaku, tak ada lagi.
Dalam gelap, bayangan itu tiba-tiba menghampiriku membiaskan semua cerita tentang aku dan dia. Tentang masa kecilku, tentang suapan bubur dari tangan hangatnya ketika aku sakit, hingga guratan masa lalu tentang kepergianku dalam amarah karena sebuah masalah.
Di sudut kota hujan, ku hanya mampu terdiam membisu, menelisik sakit yang mendera dalam dada. Menghujam, membisikkan penyesalan dalam jiwa. Andai saja waktu itu aku tidak pergi, mungkin akan ada banyak waktu lagi yang akan membuat sebuah cerita tentang aku dan dia.
Memang tak pernah ada kisah yang membuatku mengingatnya lebih indah di benakku. Namun, walau demikian dia adalah seseorang yang mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkanku ke dunia ini, seseorang yang membuatku merasakan kehidupan ini. Walau ternyata, karena dialah sampai sekarang aku masih hidup di jalanan, di pinggir rel kereta pinggir kota. Aku tak tahu harus kemana.
***

Seperti biasa, ku langkahkan kakiku meski terasa berat. Melewati jalanan yang sudah tak asing lagi, bagiku juga hidupku. “Mba…” suara pengamen kecil menghampiriku. Ku arahkan badanku ke balik suara itu, “Mba, awas!” suara itu semakin jauh ku dengar terhalang oleh bisingnya keramaian stasiun Bandung, suara kereta seakan mendekatiku. “Mba, lari!” Sejenak, tak sempat ku dengar suara lagi.

Gambar Ilustrasi



0 komentar :

Posting Komentar

Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat