Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal Terbit: 17 November 2012
Catatan: Cerpen ini pernah memenangkan juara 1 pada salah satu lomba cerpen
“Ternyata
dia lagi” keluhku hari ini pada selembar kertas yang tersalib membisu pada
papan mading sekolah. Mataku masih menilik satu per satu huruf yang telah aku
baca. Tapi keajaiban yang sempat aku pikirkan tak kunjung datang, huruf-huruf
tersebut ternyata tak berkenan untuk beranjak dari tempatnya.
“Ehm...”
suara seorang wanita yang berdehem dari arah belakang mengalihkan perhatianku.
“Huh,
kagetnya! Aku kira siapa. Tumben seorang Gina datang pagi-pagi ke sekolah”
sindirku padanya.
“Ya
sama seperti kamu Bulan. Ingin menjadi orang pertama yang melihat daftar nilai
semester satu. Eh, tapi udah keduluan. Kamu rangking berapa Bulan?” tanya Gina
sambil melihat daftar nilai yang terpampang di mading sekolah.
“Rangking
ke dua” jawabku dengan nada yang agak merendah.
“Loh,
tapi kok kayak yang sedih gitu sih? Hebat tahu jadi orang terpintar ke dua di
kelas XI IPA dari 200 orang siswa. Tuh, lihat daripada aku ada di peringkat
ke-60” sahut Gina sambil menunjukan klasemen dimana namanya terpahat.
“Ya,
Alhamdulillah. Tapi, Surya lebih hebat lagi. Dia selalu jadi juara pertama”.
“Sudahlah
jangan bersedih. Kalau menurutku masih hebat kamu. Surya kan Raja nyontek.
Seperti yang sering kamu bilang. Nilai tidaklah terlalu penting, yang paling
penting adalah kemampuan yang kita peroleh dari hasil belajar” celoteh Gina
sambil menirukan suaraku.
Aku
hanya menjawab pernyatan Gina dengan sebuah senyuman kecil. Walau hati kecilku
ingin menjawab peryataannya, bahwa tetap saja menyakitkan jika kita harus kalah
dalam sebuah peperangan (baca: prestasi).
*****
“Treng...Treng...”bunyi
bel istirahat memaksa Bapak Sugeng meninggalkan kelas. Tak lupa sorak-sorai
anak-anak yang berlebihan ikut mengiringi langkah kaki Bapak Sugeng yang
meninggalkan kelas (seolah-olah negara Indonesia baru merdeka dari penjajahan
Jepang). Aku tak beranjak dari kursiku, pergi ke kantin pun tak ada gunanya
karena hari ini aku sedang berpuasa. Daripada melamun, akhirnya kubuka tas dan
kuambil buku Matematika untuk aku pelajari. Sejurus kemudian, sebercak keributan
dari arah belakang merusak konsentrasiku dan benar-benar telah membuatku naik
pitam.
Ternyata
dia lagi, Surya. Entah hal bodoh apalagi yang dia kerjakan bersama
teman-temannya. Dimulai dari lomba push up, panco, nyanyi-nyanyi bersama (walau
suara mereka semua offside dari nadanya), kontes kegantengan bahkan lomba
menempelkan permen karet di langit-langit pernah dia lakukan. Tapi tidak,
semoga saja kali ini aku salah lihat, karena kali ini dia sedang berlomba
membuat bola-bola upil. Yaik, daripada aku ketularan sindrom idiotnya sebaiknya
aku pergi meninggalkan kelas -semoga saja suatu saat nanti kelas ini akan
menjadi tenang- dan pergi menuju perpustakan.
Salah
satu orde penantian dalam interval jalan hidupku dimulai. Setelah belajar
mati-matian (sampai-sampai pada saat tidur pun aku bermimpi mengerjakan
soal-soal), kini aku merasa telah siap menghadapi ujian kimia. Akupun tidak
terlalu khawatir dengan Surya, karena Bapak Ketut terkenal sangat killer dan
itu tandanya jalan untuk Surya menyontek telah tergembok rapat.
Bapak
Ketut telah mengatur tempat duduk para siswa, dan kali ini Surya harus duduk di
sampingku. Setiap siswa telah mengeluarkan kertas kosong untuk jawaban soal.
Detik demi detik telah berlalu, tidak terasa sudah 30 menit berlalu. Ku hanya
bisa tersenyum ketika kulihat Surya yang sedang sibuk mengerjakan ujian. Hebat
juga dia mengerjakan soal-soal itu tanpa harus menyontek. Pujiku padanya dalam
hati. Tapi ketika aku perhatikan lembar jawabannya lebih seksama, ternyata
disana ada contekan tulisan-tulisan kecil nan tipis dari pensil. Subhanallah,
ternyata dia tidak pernah berubah.
*****
“Surya
benar-benar keterlaluan!”.
“Cie...
Perhatian banget nih bu” ledek Luna padaku.
“Gubrag,
Perhatian? Dia sudah amat sangat keterlaluan sekali. Jika ada kontes menyontek
pasti dia jadi pemenangnya. Padahal yang selama ini dia lakukan adalah suatu
bentuk pembodohan terhadap diri sendiri”.
“Haha...Tuh
kan kamu perhatian. Sudah jangan marah-marah. Nantinya kamu cepat keriput kayak
Ki Daus, terus nggak ada pria yang mau lagi. Kalau menurut aku, kamu harus
punya cara untuk menyadarkan Surya dari kebiasaan buruknya itu.
“Betul
juga apa yang kamu katakan itu (baik tentang keriput maupun tentang Surya. Tapi
apa benar Ki Daus itu keriput?). Aku punya cara untuk menyadarkannya” aku
segera mengeluarkan kertas selembar dari dalam tas.
“Mau
ngapain kamu Bulan. Jangan-jangan mau menulis somasi buat dikirim ke Lembaga
Anti Menyontek” tanya Luna padaku.
“Ye,
memangnya ada Lembaga Anti Menyontek? Aku itu mau buat origami. Ya bukanlah,
pokoknya lihat saja” ku arahkan ujung pena pada kertas putih yang tidak
berdosa, kubiarkan dia berdansa mencerna setiap asa yang aku tumpahkan.
Assalamualaikum Wr. Wb.Untuk Surya dimana saja kau berada.Menjadi seorang pemenang itu memang hebat. Tetapi menjadi pemenang sejati tentunya lebih hebat lagi. Surya, kebiasan menyontek yang sering kamu lakukan sebaiknya segera kamu hentikan, karena menyontek adalah suatu kebohongan dan Allah sangat murka akan itu.Ujian merupakan cerminan kapasitas kemampuan kita. Tetapi ketika ujian itu telah dinodai (dengan menyontek), ujian itu akan menjadi cerminan kapasitas kita dalam berbohong dan menipu (baik terhadap diri sendiri maupun orang lain).Pandangan mata slalu menipu...Tapi Allah tidak akan pernah tertipu...Wassalamualaikum Wr. Wb.
“Wah,
nekat juga kamu Bulan” komentar Luna padaku.
“Ini
namanya bukan nekat tapi berani” jawabku dengan singkat. Lalu aku bangkit dan
menuju meja Surya. Kumasukan surat itu ke dalam tasnya.
“Sayang
sekali Bulan, aku sangat sulit sekali untuk membedakan antara nekat, berani dan
bodoh”
Belum
sempat aku menjawab perkataan Luna, ternyata dia sudah kembali ke mejanya.
Kemudian fatamorgana yang telah terlupakan kembali muncul dalam ingatan.
Beberapa
tahun yang lalu...
Anganku
berlari ke salah satu laci dari jutaan laci yang berada dalam otakku. Andai
saja sekarang masih ada Titan. Pasti dia tahu apa yang harus aku lakukan. Dia
begitu bijak, satu-satunya orang yang aku kagumi. Tapi dia pergi entah kemana.
Meninggalkanku dengan membawa cahaya yang selalu menerangi sudut gelapku.
Tiga
hari telah berlalu. Ketika aku membuka tasku di rumah, aku menemukan secarik
surat yang terhimpit diantara buku-buku. Seketika, rasa penasaran memberikan
kehausan pada rasa ingin tahuku. Aku segera membaca tulisan yang terekam dalam
kertas itu:
Assalamualaikum Wr. Wb.Untuk Bulan yang sedang berada di Indonesia.Di dunia ini hanyalah orang-orang cerdik (cerdik = cerdas + licik) yang mampu bertahan hidup. Lihatlah faktanya, kini orang-orang tak lagi mempermasalahkan kemampuan. Karena yang selalu disenandungkan adalah ijazah yang di dalamnya terpatri nilai-nilai yang dianggap suci.Tapi tenang gadis cantik, akanku buktikan besok pada saat ulangan biologi. Aku tidak akan menyontek sedikitpun. Lalu kita saksikan, siapa yang akan jadi pemenang sejati.Pandangan hati adalah yang paling hakiki...Wassalamualaikum Wr. Wb.
Aku
tertegun sejenak, lalu kuhirup napas dalam-dalam. Otaknya ternyata terbuat dari
titanium, logam terkeras di bumi ini. Tanpa pikir panjang aku segera membuka
semua kitab biologi. Rasa malas seolah telah menguap dari jasadku.
Awan
mendung di paginya pagi, memberikan kiasan rasa berkabung atas apa yang aku
tahu dari ketidaktahuanku. Kumasuki pintu kelas XI IPA 2, dan terasa asing.
Ruangan yang sudah wajar untukku ini seperti telah berubah menjadi gelanggang
pertarungan antara dua siswa. Kulayangkan pandangan kepojok kiri dimana tempat
Surya duduk. Aneh, dia masih sempat tertawa terbahak-bahak bersama
teman-temannya.
Baru
saja aku duduk, Gina langsung bercerita tentang Surya yang datang ke sekolah
tanpa membawa tas dan alat tulis. Kertas kosong untuk ujian beserta pena dia
pinjam dari temannya. Sepertinya dia bersungguh-sungguh dengan niatnya dan
berusaha menunjukan sesuatu padaku. Ujian pun berlangsung dengan cukup
menegangkan. Lima puluh soal yang tersedia sebagai menu utama telah aku lahap
habis. Kali ini aku pasti jadi orang pertama yang keluar dari kelas. Tapi aku
sangat terkejut ketika menoleh ke mejanya Surya. Ternyata dia telah lenyap dari
peredaran. Huh, keluar pertama belum berarti dapat nilai paling bagus kan.
Gumamku dalam hati, berusaha menenangkan diri.
Di
luar kelas aku melihat Surya sedang duduk termenung sambil mengigit ujung pena.
Karena belum ada siswa lain yang keluar ruangan akhirnya aku terpaksa
menyapanya.
“Yang
lagi melamun. Hati-hati nantinya ayam tetangga bisa mati” aku berusaha membuka
percakapan dengan sedikit gurauan.
“Maaf,
tetangga aku nggak punya ayam tuh” jawabnya tanpa ekspresi.
Kalau
tahu begini aku menyesal menyapanya. Tapi sudah tanggung juga. Dengan
terbata-bata aku bertanya lagi padanya, “Surya, bagaimana soal-soal ulangan
tadi?”
“Baik-baik
saja”
Benar-benar
mengesalkan. Memangnya siapa yang menanyakan kabar soal. Soal itu benda mati.
Mungkin aku harus menggunakan kata-kata yang lebih manusiawi lagi, “Maksudnya,
apa kamu ada kesulitan menjawab soal-soalnya?”
“Relatif,
tapi bagiku cukup mudah”
“Syukur
deh! Eh surya, tadi teman-teman bercerita bahwa kamu ke sekolah nggak bawa tas.
Memangnya kemana tasnya? Kebasahan ya?”.
“Haha...”
sambil menggeleng-gelengkan kepala, Surya menahan tawanya. Beberapa saat
kemudian dia mulai berkata, “Tas aku tertinggal di dalam mobil umum. Tadi aku
lupa membawanya”.
“Oh...”
seandainya saat ini ada kasur di bawahku, pasti aku pingsan sambil tertawa
tanpa irama.
Seminggu
kemudian, hari pengumuman nilai ulangan biologi. Di mading terpampang daftar
siswa beserta perolehan nilai ujian biologi yang disusun secara acak.
Kukerahkan indra pengelihatanku untuk mencari namaku di antara ratusan nama yang
berjejal memenuhi kolom-kolom sempit.
“Alhamdulillah,
dapat nilai 8,30” seruku dengan cukup bangga.
“Subhanallah,
Surya dapat nilai 9,80!” teriak Luna.
“Apa?
9,80?” tanyaku untuk memastikan.
“Tenang
Bulan, mungkin kali ini dia sedang beruntung” ujar Luna berusaha menenangkanku.
“Eh
Bulan lihat, di sebelah sini! Nama kamu masuk ke dalam Tim Cerdas Cermat” Sela
Gina di tengah percakapanku dengan Luna.
“Mana
ah?”
“Ini,
coba saja baca!” jawab Gina sambil menunjukan pengumuman yang di tempel di
samping daftar nilai ulangan biologi.
“Benar,
aku ternyata masuk. Alhamdulillah... Tapi mengapa Surya tidak masuk? Padahal
dia siswa terpintar”
“Mungkin
kali ini dia sedang tidak beruntung” Gurau Luna sambil tertawa.
“Hanya
kemungkinan...” jawabku dengan singkat.
*****
Sudah
seminggu ini aku tidak masuk kelas karena harus mengikuti kegiatan pengayaan
Tim Cerdas Cermat. Suatu kelaziman di sekolahku jika siswa yang masuk Tim
Cerdas Cermat harus di karantina. Karena ini hari terakhirku di karantina, maka
aku menyempatkan waktu untuk masuk kelas di jam istirahat.
Ketika
aku masuk kelas, keadaan kelas tidak seribut biasanya (tapi aneh, aku malah
rindu dengan keadaan itu. Tapi apa bedanya?). Akupun segera menghampiri teman-temanku
untuk meminta doa karena besok adalah hari berlangsungnya lomba cerdas cermat.
Sebenarnya aku ingin sekalian mengucapkan selamat yang tertunda pada Surya
(harus kuakui dialah pemenang sejati). Tapi apa boleh buat, ternyata dia tidak
sedang berada di kelas. Jika aku tanyakan pada teman-temanku tentang dia,
nantinya aku disangka perhatian sama dia.
*****
Suasana
yang cukup panas dalam ruangan tempat berlangsungnya lomba cerdas cermat cukup
menggangguku. Meskipun di luar ruangan sang hujan sedang menari-nari mendengar
panjat doa sang tanah.
“Semangat
ya Bulan. Kamu sebagai ketua timharus memberikan tauladan yang baik pada
teman-temanmu” ucap Ibu Vera, selaku guru pembimbing Tim Cerdas Cermat.
“Insya
Allah Bu! Bulan yakin kita akan mampu meraih juara pertama”.
“Oh
iya Bulan, Ibu dapat pesan dari Surya. Dia berpesan agar kamu memenangkan
perlombaan kali ini. Tolong balaskan kekalahannya tahun lalu”
“Oh...
Tahun lalu? Insya Allah Bu!” aku baru tahu ternyata Surya waktu kelas satu
adalah Ketua Tim Cerdas Cermat. Bukankah itu usia yang terlalu dini? Tapi apa
peduliku, bagiku dia tetaplah raja menyontek kelas kakap, bukan itu, tapi
lebih. Mungkin dia raja menyontek kelas paus.
Delapan
jam lamanya telah berlalu. Saatnya pengumuman pemenang perlombaan cerdas cermat.
Sejurus kemudian, terdengar bunyi speaker yang dihidupkan. Seketika itu juga
suasana menjadi hening.
“Pengumuman
pemenang lomba cerdas cermat tingkat kabupaten... juara ketiga diraih oleh SMA
Negeri Putra Bangsa... juara kedua diraih oleh SMK Farmasi Bhakti Husada dan
juara pertama... diraih oleh SMA Negeri... Gajah... Mada...”.
Kalimat
terakhir dari corong speaker memaksaku untuk menciptakan oasis sendiri dalam
ketidakpercayaanku.
“Kita
meraih juara pertama Bulan” seru teman-teman Tim Cerdas Cermat sambil memeluk
tubuhku. Akupun tak kuasa menahan rasa haru. Suatu anomali yang baru kali ini
aku rasakan, menangis karena bahagia.
Setelah
perayan yang cukup singkat, kami segera bergegas pulang ke rumah dengan membawa
seribu cerita untuk keluarga dan juga untuk teman-teman di sekolah. Ketka
hendak kulangkahkan kakiku menuju mobil, tiba-tiba ada seseorang yang memegang
pundakku.
“Bulan
tunggu dulu”.
“Ada
apa ibu Vera?”.
“Ibu
dapat titipan surat dari Surya. Dia meminta ibu memberikan kepadamu setelah
perlomban selesai”.
“Makasih
Bu. Bulan pulang duluan ya Bu” kuterima surat yang dititipkan Surya pada ibu
Vera sambil mencium tangannya, “Assalamualaikum...”.
“Wa’alaikum
salam. Hati-hati di jalan ya!”.
Malam
hari tiba dengan mengundang hujan untuk berdemonstrasi. Aku terbangun dari
tidurku karena suhu dingin yang menyelimuti tubuhku. Ketika aku hendak
mengambil selimut, kulihat ada sebuah surat yang tergeletak disampingku. Sejak
kapan aku mengeluarkan surat iu dari dalam tas? Tanyaku dalam hati. Ah, mungkin
aku lupa. Kemudian aku ambil surat itu dan kubaca.
Assalamualaikum Wr. Wb.Teruntuk Sang Bulan yang bersinar terang.Selamat aku ucapkan atas keberhasilanmu. Aku yakin kamu pasti bisa memenangkan lomba itu, karena aku yakin kamu bisa. Walaupun aku tak bisa melihat wajah ceriamu esok hari dikelas.Surat ini aku buat saat kamu pertama kali dikarantina, dan saat itu juga aku harus pergi ke Singapura untuk menjalani operasi tumor otak. Ada beberapa hal yang tidak sempat aku ucapkan padamu dan aku rasa sekaranglah saat yang tepat itu.Sebenarnya, yang menulis balasan surat darimu bukan aku. Tapi temanku yang menulisnya. Sebenarnya, tulisan tipis dan kecil di lembar jawabanku bukanlah contekan, melainkan kotretan hasil perhitunganku dan sebenarnya, buku yang sering aku selipkan di laci mejaku bukanlah untuk aku. Tapi untuk teman sebelahku menyonteknya. Satu hal lagi yang tak kalah penting. Ingatkah kamu dengan nama pena “Titan” yang sering kamu kirimkan surat, yang kamu akui bahwa kamu mengaguminya, yang dahulu selalu menjadi tempat curhatmu? Dan nama “Titan” juga yang menurut orang tuamu adalah lelaki yang telah dijodohkan denganmu? Maafkan aku Bulan, karena aku tak sempat bilang bahwa itu adalah... AKU...Tapi sudahlah, sekali lagi maafkan aku karena keadanku terlalu lemah untuk mengakuinya. Aku harap kau semakin dewasa.Kala Sang Surya tenggelam...Saat itulah Sang Bulan bersinar terang...Wassalamualaikum Wr. Wb.
Aku
mematung dalam kesendirianku. Ingin aku tak percaya dengan kalimat-kalimat yang
dia tuliskan untukku. Tapi perasanku berkata lain, dia tidak berbohong.
Hari-hari
kulalui dalam ketidakpercayanku pada kenyataan. Masih di ruangan yang sama tapi
dengan suasana yang berbeda. Tidak ada lagi keributan yang menggangguku, tidak
ada lagi musuh dalam prestasiku dan tak ada lagi seorang Surya. Ketika aku
tanyakan ke kantor, para guru bilang menurut keterangan orangtuanya kalau Surya
telah pindah sekolah atau mungkin dia telah... Mengingatnya hanya membuat aku
menitikan air mata. Bebanku semakin bertambah ketika ku tahu bahwa yang
merekomendasikan aku masuk ke dalam Tim Cerdas Cermat adalah Surya.
*****
“Sudah
selesai ceritanya anak-anak. Sekarang waktunya tidur cucu-cucuku” kulihat
mereka sudah tertidur di atas karpet. Aku beranjak dari kursi goyangku dan
segera ku angkat kedua cucuku. Kurebahkan mereka di atas tempat tidur. Lalu
kukecup kening mereka satu per satu.
“Nenek,
bagaimana keadaan Surya dan Bulan” suara lembut dari cucu pertamaku yang
terbangun sedikit mengejutkanku.
“Bulan
sekarang sudah hidup bahagia. Dia telah memiliki dua cucu yang lucu-lucu
seperti kalian dan Surya... Surya...”
“Bagaimana
dengan Surya Nenek?” tanya cucuku yang kedua yang juga ikut terbangun.
“Dia
juga hidup bahagia tapi di dunia yang berbeda. Sudah, ayo sekarang saatnya
kalian tidur”
Setelah
mereka tidur, aku pergi ke luar apartemen untuk membeli youghurt kesukaanku. Di
samping jalan Boulevard aku duduk di kursi yang cukup panjang untuk menikmati
pemandangan gratis yang disuguhkan langit. Lalu ada seorang lelaki tua yang
sepertinya seumuran denganku duduk di sampingku. Sepertinya dia orang Indonesia
juga.
“Indahnya
melihat bulan purnama” ucapnya entah pada siapa.
“Tapi
bulan tak akan pernah bersinar jika Sang Surya tak tenggelam”.
“Haha...
Swiss memang kota yang indah” komentarnya sambil tertawa terbahak-bahak. “Anda
sedang apa disini?” tanyanya padaku.
“Seperti
anda, saya sedang menikmati tontonan dari teater yang diciptakan Allah untuk mahluknya”.
“Tidak
sama, saya sedang menunggu mobil jemputan menuju bandara. Sudah seminggu saya
mencari seseorang disini. Tapi tak bertemu juga” jawabnya dengan suara yang
kurang jelas. “Nah, itu jemputan saya. Saya permisi dulu. iNgatlah bahwa kita
sudah tua, jangan lama-lama terkena udara malam”
“Anda
juga hati-hati di jalan” ujarku dengan terheran-heran.
*****
Di bandara
Jenewa, Swiss
“What
is your name sir?”
“Surya”
“You
will go to Indonesia?”
“Yes”
“I
am sorry Mister. You can sit at the chair numbered 46”
“Thank
you”
Gambar Ilustrasi
0 komentar :
Posting Komentar
Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat