Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 02 Mei 2014

Cinta Tak Bersyahadat

Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal terbit: 2 Mei 2014


Komentar Mengenai Cerpen ini:
“Cinta itu harus dilandasi dengan syahadat yang artinya berjanji” (Iskandar Nugraha bin Suganda)
“Cinta tak bersyahadat artinya cinta itu tak serius untuk menjalaninya” (Samadin bin Pudin)
“Cerpen ini bisa menyesatkan bagi yang belum kuat imannya. Tapi penulis yang kacau ini sepertinya ingin menyuguhkan sesuatu yang berbeda, sebuah perdebatan yang benar-benar berlogika” (Rofa Y. A. bin Misna Sudjana)

CINTA TAK BERSYAHADAT
Seorang musisi harus menciptakan musik,
seorang seniman harus melukis,
seorang penyair harus menulis,
 jika ia ingin merasa damai dengan dirinya sendiri.
Apa yang seseorang bisa lakukan, harus ia lakukan.
(Dikutip dari Novel belum jadi karya Rofa Yulia Azhar)

“Mereka memang terlalu cerdik untuk masalah ini. Telah banyak misionaris yang mereka kirimkan ke desa-desa untuk mendungui masyarakat awam” ujar seorang lelaki tua dengan balutan sorban di kepalanya sambil mengusap janggut yang sebetulnya tidak terlalu panjang. “Lalu apa yang harus kita lakukan Kyai?” Tanya salah satu santri yang duduk menyudut ditelan bayang-bayang temannya.
“Kita harus meningkatkan kualitas keilmuan dari santri-santri muda sehingga mempunyai kompetensi yang cukup mumpuni untuk melawan misionaris-misionaris mereka”
“Tapi ayah, bukankah kita harus segera bertindak agar pengaruh para misionaris ini tidak semakin meluas”
Terlintas senyuman  kebijaksanaan dari bibir Kyai Zein mendengar pendapat dari anak satu-satunya itu. “Kita belum siap anakku, kita harus menunggu waktu yang tepat” jawabnya dengan singkat.
“Lalu kita hanya bisa berdiam diri seperti ini? Sedangkan di luar sana, misionaris-misionaris, yang mengaku domba-domba Tuhan itu bebas melakukan apapun yang mereka inginkan?”
“Diam lebih baik daripada harus berbuat salah. Kamu nanti akan mengerti Rasyid”
“Tapi bagaimana ayah jika ada santri yang sudah siap?”
“Maksudmu?”
“Maaf Kyai jika saya memotong pembicaraan antara kalian berdua” Sela salah seorang Kyai lainnya yang usianya tak jauh berbeda dengan Kyai Zein. “Saya menegerti apa yang dikhawatirkan Rasyid. Maksudnya, dia ingin agar Kyai segera mengutus santri yang dirasa sudah siap untuk melawan para misionaris. Apalagi saya dengar di Cena, Desa yang letaknya tak terlalu jauh dari pesantren kita, ada seorang misionaris yang menghasut masyarakat agar berpindah keyakinan”
Kyai Zein menghela napas dalam-dalam memikirkan kebijakan yang akan dia ambil. “Baiklah jika begitu. Hanya untuk Desa Cena dan hanya satu orang yang akan kita utus. Kalau begitu apakah dari kalian, santri-santriku, ada yang bersedia untuk melawan misionaris tersebut? Tapi ingat, kita bertindak tanpa kekerasan!”
Sejenak, ruangan yang cukup luas itu menjadi bergemuruh, masing-masing santri saling berdiskusi akan masalah yang sedang dibicarakan, tapi tidak ada satupun santri yang berani mengajukan dirinya sebagai utusan pesantren ke Desa Cena. Tapi sejurus kemudian, tampak seorang laki-laki berdiri dengan tegap dan mengalihkan semua mata yang ada di ruangan itu. “Insya Allah, saya siap Ayah”
*****
            Di sebuah rumah mungil di Desa Cena, terlihat seorang lelaki tua dengan tongkat di tangannya sedang meantapa jauh keluar jendela. “Marta, kesinilah!”
“Tunggu sebentar Romo Yohanes Anwar” Marta segera menutup buku yang sedang dibacanya dan bergegas menghampiri ayahnya yang masih menatap jauh ke luar jendela.
Romo Yohanes Anwar atau lebih dikenal sebagai Sang Pembaptis dibandingkan dengan nama aslinya sendiri merupakan salah satu misionaris yang berpengalaman. Gaya hidupnya yang sederhana dan aksen bicaranya yang tenang membuat dia selalu berhasil dalam setiap misinya sebagai misionaris. Dia masih terlihat berwibawa walaupun tongkat harus menyangga tubuhnya, selebihnya, dia terkenal bukan karena sifat dan kesuksesannya tapi karena dia tak pernah gagal.
“Ada apa ayah?”
“Coba lihat keluar jendela!” Marta lalu melakukan apa yang ayahnya perintahkan padanya. “Apa yang kamu lihat?”
“Orang yang kurang waras yang seperti biasa selalu mondar-mandir sambil komat-kamit, ibu-ibu yang sudah tua yang sedang menjual makanan, beberapa rumah dan anak kecil yang sedang  bermain”
“Kamu percaya adanya Tuhan?”
“Ayah bercanda, tentu saja saya percaya” Marta sedikit heran dengan pertanyaan ayahnya yang janggal. Sebagai seorang penganut Kristen yang taat seharusnya ayahnya tak perlu menanyakan pertanyaan seperti itu atau mungkinkah ayahnya ragu dengan keimanannya? Atau ayahnya sekarang tidak percaya adanya Tuhan?
“Lalu jika Tuhan memang ada, Mengapa masih ada orang yang kesusahan? Mengapa masih ada orang miskin padahal Tuhan itu katanya Kaya dan Pemberi?
            Marta tertegun beberapa saat, dia lalu memperhatikan kembali hiruk-pikuk yang terlihat dari jendela tengah rumah. Apakah ayah saya sudah gila? Gumamnya dalam hati. Ah, tapi tidak mungkin. Heran, tak pernah ada pertanyyaan seperti ini sebelumnya.
“Kenapa diam? Kamu percaya Tuhan kan?”
            Marta masih terdiam dan tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Matanya kosong tertuju keluar jendela, lalu tiba-tiba seutas senyuman tipis dihadirkan dari wajahnya yang sedari tadi terlihat tegang. “Menurutku bukan Tuhan yang tidak ada ayah. Tapi tukang cukurlah yang tidak ada di dunia ini”
“Haha... Kamu jangan menjadi pengigau karena terus-terusan memikirkan jawaban dari pertanyaan yang ayah ajukan. Sudah jelas tukang cukur itu ada. Bukankah ayah selalu pergi bercukur sebulan sekali dan kamu pernah mengantar ayah?”
“Kalau tukang cukur itu ada mengapa orang gila yang terlihat dari jendela kita rambutnya panjang? Bukankah itu berarti tukang cukur itu tidak ada?”
“Jawabannya mudah, tentu saja karena orang gila itu tidak mau pergi ke tukang cukur, karena dia tidak waras”
“Itu jawabannya Ayah” Marta tersenyum menang. “Adanya orang yang kesusahan dalam hidupnya, bukanlah karena Tuhan tidak ada. Tapi karena dia tidak mau mendatangi Tuhan”
“Haha... Ternyata kau sudah dewasa anakku”
“Aku pergi dulu Ayah” tanpa mengindahkan apa yang disampaikan Ayahnya, Marta segera membuka pintu rumahnya dan bergegas keluar rumah.
Tring... tring... tring... terdengar bunyi telepon genggam Romo yohanes Anwar berdering. “Hallo, iya ada apa?” terdengar suara seorang lelaki dari balik telepon genggamnya yang sudah tak asing lagi di telinga Romo. “Tenang saja, hanya satu orang kan? Orang-orang dipesantren itu tak akan bisa mengalahkan anakku. Dia sangat cerdas. Jaga saja dirimu baik-baik. Jangan sampai orang-orang pesantren mengetahui indentitasmu yang sebenarnya”.
*****
            Senin yang indah di sebuah Rumah kontrakan di Desa Cena, tanpa mereka sadari, baik itu Islam maupun Kristen atau agama lainnya. Makna dari senin yang dalam bahasa Inggrisnya diucapkan Monday merupakan hari dimana kaum pagan dahulunya selalu menggunakan hari senin untuk menyembah Isis, dewi kecantikan, dewi bulan yang merupakan istri dari dewa Ra, dewa Matahari, dewa perang. Diabadikan dalam nama hari agar tak terlupakan, Sunday, dewa matahari selalu bersanding dengan Sunday, dewi bulan. Tapi tak seperti wajah bulan yang terlihat tenang, walaupun malam, wajah Rasyid tak memperlihatkan sebuah ketenangan; tapi sebuah wajah yang menantang.
Hidangan yang sangat lezat. Pantas misionaris itu memilih tempat ini. Penduduknya terlalu ramah dan kurang berpendidikan. Gumam Rasyid di dalam hati. Sudah sepuluh hari Rasyid memperhatikan aktifitas masyarakat dan spesialnya untuk misionaris tua beserta anaknya.
            Layaknya pagi di sepuluh hari sebelumnya. Kali ini Rasyid menyempatkan diri untuk lebih mendekat ke rumah misionaris yang sudah lama diintainya. Betapa kagetnya Rasyid ketika melihat ternyata Marta sedang membagikan bungkusan plastik berwarna hitam. Firasat Rasyd mengatakan sesuatu yang buruk mengenai isi dari bungkusan yang dibagikan oleh Marta. Rasyid segera bergegas mendekati Marta.
            “Apa yang kau bagikan itu?”
“Daging” jawab Marta.
“Daging apa?”
Marta terdiam. Tanpa pikir panjang Rasyd langsung mengambil secara paksa bungkusan plastik hitam yang dipegang Marta. “Gila, kamu membagikan daging Babi ke penduduk yang beragama islam?” Mata Rasyid terbelalak, kemudian dia mengarahkan pandangannya ke salah seorang penduduk karena tak mendapatkan jawaban apapun dari Marta. “Apa kau tahu jika ini daging Babi? Haram... ini untuk kalian makan. Allah tak meridhainya”
“Tapi itu dulu anak muda. Marta sudah menjelaskan jika sekarang daging babi sudah tak mengandung cacing pita lagi. Peternakannya sudah terjaga” seloroh seorang wanita tua yang sedari tadi dipandangi Rasyid.
“Haram pada daging babi itu bukan masalah cacing pitanya saja. Sapi juga mengandung cacing pita bu. Itu perintah Allah. Hey kamu, siapa namamu?”
“Marta”
“Apa kamu punya babi yang masih hidup?”
“Tentu saja. Dibelakang rumah kami  ada lima babi yang belum dipotong”
“Marta, coba bawa babimu itu sebanyak dua babi jantan dan satu betina dan Ibu, tolong bawakan saya dua ayam jantan dan satu ayam betina!”
“Tapi saya tak punya...” jawab si ibu dengan jujur.
“Cari saja, ini uangnya bu” ibu yang disuruhnya dengan ketakutan segera berangkat untuk membeli ayam yang dipesan oleh Rasyid, selebihnya Marta dan Ibu yang tak dikenal namanya oleh Rasid benar-benar ketakutan dengan mimik muka Rasyid dan begitu juga dengan beberapa penduduk yang sedang antri menunggu pemberian bingkisan.
Sejurus kemudian, Marta dan Ibu tua sudah membawakan apa yang dimintakan Rasyid. Penduduk banyak yang berdatangan untuk melihat apa yang terjadi.
“Coba kalian masukan dua ayam jantan dan satu ayam betina itu ke dalam kandang” perintah Rasyid kepada beberapa penduduk. Seketika, kedua ayam jantan itu saling bertempur sampai ada yang menang. Lalu ayam jantan yang menang mendekati ayam jantan betina untuk kawin.
“Sekarang saya minta masukan dua ekor babi jantan dan satu babi betina ke dalam kandang”
Berbeda dengan apa yang terjadi pada ayam. Kedua babi jantan itu tidak bertarung dan malah mendekati babi betina yang hanya satu ekor dan menggumulinya.
“Apa kalian lihat? Kalian mau seperti babi? Buang daging itu! Apakah kalian juga tahu jika babi memiliki penciuman yang lebih hebat dari seekor Anjing? Tapi mengapa kalian tidak pernah mendengar ada Babi pelacak? Tahukah kalian jika Babi itu selalu memakan apa yang dimakannya? Bahkan kotorannya sendiri...”
Sunyi, senyap, sedingin antartika yang sedang tertidur pulas. Tak ada yang bicara. Rasyid pergi tanpa berkata-kata lagi...
*****
            Kejadian yang terjadi tiga hari lalu masih dipikirkan oleh Rasyid. Karena itu, dia kembali mengingat nasehat yang diucapkan oleh Ayahnya. Inilah kelemahan Rasyid, disaat Ayahnya terkenal karena lemah lembutnya dan kebijakannya, tapi pada diri Rasyid; sangat sulit sekali membedakan apakah dia keras atau tegas. Tapi dia masih bersyukur, akibat kejadian itu keluarga Marta semakin dijauhi oleh penduduk sekitar dam masjid semakin penuh.
            Kala sang surya hampir menutup kisahnya, Rasyid mengendarai motornya untuk berangkat membeli bahan pokok. Karena pagi sampai siang hujan lebat turun Rasyid harus berhati-hati karena jalanan menjadi becek. Di persimpangan, tanpa bisa dihindari, ban motor Rasyid melindas kubangan air kotor. Seorang wanita yang sedang berjalan tak jauh dari kubangan air kotor terkena semburan air dari kubangan. Rasyid segera berhenti dan mendekati wanita tersebut untuk meminta maaf. Tapi ketika mendekat dan mulai memperhatikan wajah korbannya, Rasyid sadar jika itu adalah Marta.
            “Maafkan aku Marta. Benar tak ada kesengajaan dalam kejadian ini” Rasyid walaupun benci terhadap Marta tapi masih memiliki dasar kemanusiaan yang tinggi untuk meminta maaf. Tapi Marta masih terdiam, tiba-tiba air matanya meleleh melihat bajunya yang kotor.
            “Maaf? Apakah hanya itu yang agamamu ajarkan?” dengan murkanya Marta terus memandangi wajah Rasyid hingga matanya seolah-olah akan meloncat keluar. “Bukankah Nabimu pernah berkata jika dunia ini surganya orang kafir dan penjaranya orang yang beriman? Sedangkan kali ini lihatlah! Aku yang sengsara dan kamu yang bernikmat ria dengan motormu”
            Rasyid hanya tersenyum untuk mengurangi ketegangan. “Aku dengan nikmatnya menggunakan motor jika dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Sedangkan kesengsaraan yang engkau alami sekarang jika dibandingkan dengan adzab yang akan kau alami di neraka seperti sebuah surga”
            Kembali terulang, keduanya membisu, lebih hening dari kejadian di depan rumah Marta sebelumnya. “Aku beriman kepada Tuhanmu” ucap Marta dengan terbata-bata. Rasyid terdiam mendengar ucapan itu.
*****
            Empat tahun sudah berlalu, Marta dan Rasyid sudah menjadi sepasang suami istri. Keduanya hidup berbahagia sampai suatu ketika anak mereka yang berusia tiga tahun sakit-sakitan. Sudah berbagai cara mereka lakukan untuk mengusahakan kesembuhan anaknya. Sampai di suatu hari, dimana kakek dari kedua belah pihak datang untuk menjenguk, Kyai Zein dan Romo Yohanes Anwar.
Mereka berdebat, saling menyalahkan menganai keadaan yang terjadi. Romo Yohanes Anwar memberi tantangan kepada Kyai Zein; barangsiapa yang dapat menyembuhkan cucu mereka maka seluruh keluarga Rasyid harus masuk ke agama orang yang berhasil menyembuhkannya. Karena keyakikinannya, Rasyid menerima tantangan itu karena tidak ingin lagi diganggu oleh ajakan orang tua Marta agar masuk ke agama Kristen.
Kyai Zein mendapat giliran pertama selama satu minggu. Hasil yang cukup mengecewakan karena cucunya tak kunjung sembuh. Tapi ketika giliran Romo Yohanes Anwar yang mengobati secara spiritual, cucu mereka langsung sembuh hanya dalam waktu tiga hari.
Nazar seorang lelaki haram untuk dicabut, itulah prinsip Rasyid. Akhirnya dengan berat hati dia mengajukan diri sebagai orang pertama yang berpindah agama, mungkin pikirnya, minimal, biarlah hanya dia yang menjadi kafir. Dia segera bergegas menuju gereja terdekat dari Desa Cena. Sedangkan di dapur rumah Rasyid, Marta sedang membuat susu bubuk untuk anaknya. Dia merasa heran karena susu bubuk yang selalu diberikan kepada anaknya dipaksa untuk diganti oleh Ayahnya. Padahal susu bubuknya masih banyak. Suara telepon genggam membangunkan Marta dari segala pemikirannya.
“Terimakasih Marta”
“Ayah? Terimakasih untuk apa?”
“Kamu memang anakku yang jenius. Rasyid baru saja menyatakan diri masuk kristen. Dian sangat berpengaruh di Desa Cena. Pasti warga akan mengikuti keyakinannya” Marta hanya terdiam mendengar ucapan dari ayahnya yang sangat menyakitkan telinganya. “Oh ya, kamu buang saja susu bubuk yang dahulu Ayah beri. Ayah menaruh racun di dalamnya”
“Apa? Racun?”
“Iya, Maaf Marta. Tapi semuanya sekarang sudah berakhir”
Tiitt... suara sambungan telepon yang diputuskan mengisi penuh ruangan yang seolah menjadi sebuah parade sirine peringatan akan adanya kebakaran. Berarti, aku telah ditipu. Gumam Marta dalam hati.
“Treng... treng... treng...” suara telepon genggamnya kembali berdering. Seolah terbawa oleh arus gaib, Marta segera mengangkat telepon genggamnya.
“Assalamualaikum. Ini dengan siapa?” tanya Marta pada nomor yang tak dikenalnya.
“Waalaikum salam. Apakah ini Ibu Marta”
“Iya ada apa Mbak?”
“Kami hanya ingin memberitahukan jika suami Ibu tiga menit yang lalu baru saja menghembuskan napas terakhir di rumah sakit. Motor beliau tertabrak di jalan kota yang menuju Desa Cena”
Marta terdiam dan segera menutup teleponnya. Raganya seolah terbawa ke dunia dongeng yang tak pernah dikunjunginya.
Cinta tak bersyahadat...
Gambar Ilustrasi


0 komentar :

Posting Komentar

Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat