Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 02 Mei 2014

Jengkolisme

Oleh: Rofa Yulia Azhar
Tanggal terbit: 2 Mei 2014

JENGKOLISME

            Harga jengkol di seluruh belahan dunia semakin membumbung tinggi, mengalahkan harga sembilan bahan pokok, bahkan harga seekor Lobster sekalipun. Pemerintah mulai kocar-kacir mengatasi masalah ini, mereka menamakannya sebagai krisis jengkol atau kaum yang lebih intelek lebih suka menamainya dengan jengkolisme (lebih cendrung mengarah pada keyakinan, bukan hanya selera). Tidak hanya orang miskin, jengkol kini disukai oleh semua kalangan; sama sekali tak pandang umur, jenis kelamin, strata pendidikan dan ras.

“Mana jengkolnya mah...” Seorang pria yang bertubuh kekar membentak wanita dihadapannya.
“Kita sudah tak bisa membeli jengkol lagi Pah. Harganya sudah sangat tinggi sekali”.
“Kamu mau aku mati? Aku tidak bisa makan, kalau lauknya bukan jengkol!” Bentaknya dengan penuh emosi. “Lihat anak-anak kita! Mereka juga menangis karena tidak ada jengkol di meja makan”

Media Masa
Seorang Bapak tega membunuh istrinya gara-gara Sang Istri tidak memasakan Jengkol di rumah.

Pemerintah
“Sebaiknya kita hentikan ekspor Jengkol keluar negeri agar kebutuhan domestik  dapat terpenuhi”
Audiensi: Geleng-geleng kepala
“Jengkol adalah komoditas paling menguntungkan. Negara kita bisa maju seperti ini gara-gara Jengkol”
“Tapi masyarakat kita? Mereka telah terhipnotis oleh Jengkol”
“Ah, anda sendiri melanggar komitmen”
“Betul saya setuju dengan pernyataannya. Anda sendiri telah melanggar komitmen”
“Komitmen apa maksudnya?”
“Mulut anda mengeluarkan bau Jengkol. Bukankah kita berkomitmen untuk memberi contoh pada masyarakat agar menghentikan kebiasaan memakan jengkol?”
“Haha... Anda... Anda... dan Anda semuanya bukannya bau jengkol semua. Kita sama saja”
Rumah dua
“Mah, Gerin dapat empat buah Jengkol hari ini!”
“Sedikit sekali? Besok kamu mencuri di Mall saja” Perintah ibunya sambil mengambil Jengkol di genggaman tangan Gerin dengan kasarnya.
“Tapi kalau di Mall suka ada Satpam Mah... Gerin takut tertangkap”
“Terserah dimana saja. Tapi besok kamu harus dapat minimal 5 buah Jengkol supaya masing-masing dapat satu buah”

Rumah tiga
“Anjing...”
“Ada apa Yan?”
“Kucing itu mencuri Jengkolku”
“Itu bukan Anjing tapi Kucing!”
“Sini, aku minta Jengkolmu” Yanto segera mencomot potongan Jengkol di piring temannya.
“Kesinikan Bangsat... Itu Jengkol milikku”

Media Masa
Pemerintah akan segera membuat regulasi mengenai Jengkolisme secepatnya. Diperkirakan akan dibuka satu juta hektar lahan untuk ditanami tanaman Jengkol.

Beberapa Saat yang Lalu
“Mobil kita dihancurkan oleh sekalompok masa yang akan menjarah sebuah toko Jengkol Kapten”
“Lalu bagaimana dengan Jengkolnya?”
“Mereka berhasil menjarahnya”
“Emm...”
“Tapi saya berhasil mengamankan dua kilo Jengkol yang terjatuh saat aksi penjarahan berlangsung”
“Bagus. Segera masukan ke dalam mobil saya”
“Tapi itu barang bukti Kapten?”
“Ini perintah...”

10 Tahun yang Lalu
            Sebuah perusahaan makanan mulai dirintis oleh Wardiyanto, orang terkaya nomor satu di Indonesia. Wardiyanto memulai usahanya dengan mendirikan rumah  makan cepat saji yang didirikan di luar negeri dengan menu aneka masakan  jengkol. Perusahaannya untung besar, publik menyukainya, bahan baku mulai sulit ditemukan dan harganya mahal.
            Untuk mengatasi masalah ini, Wardiyanto memilih desa Jayakarta sebagai tempat budidaya Jengkol. Masyarakat yang menanam satu buah pohon Jengkol akan diberi imbalan tiga juta rupiah setiap tahunnya.
Masyarakat tergiur, mereka beramai-ramai menanam Jengkol di rumahnya.

Seorang wartawan yag bernama Tanoryo menulis pada kolom suratkabarnya jika buah hasil bibit Jengkol yang diberikan Wardiyanto untuk ditanam mengandung hormon Dopamin berkonsentrat tinggi yang dapat menyebabkan timbulnya perasaan tenang pada orang-orang yang mengkonsumsinya. Dopamin sewajarnya adalah hormon cinta (selain oksitosin) yang memberikan rasa bahagia, tenang, semangat, dan peduli lalu ketergantungan untuk menikmati jatuh cinta. Tetapi jika konsentratnya terlalu tinggi, dopamin merusak jaringan simpatetik otak tengah; seperti mengarah kepada delutic madnes. Walaupun Jengkol tak memerlukan pestisida tapi dengan hadirnya Dopamin berkosentrat tinggi menyebabkan Jengkol sebagai subjek yang sangat berbahaya.

            Akibat tulisan itu, masyarakat marah. Sudah 23 Provinsi yang membudidayakan Jengkol. Ekspor meningkat. Neraca keuangan negara untung besar gara-gara ekspor Jengkol. Pemerintah khawatir kehilangan keuntungannya. Para ilmuwan kehilangan pengaruh, malah tidak aneh jika mereka menjadi salah satu pecandu jengkol.

            Malam yang sepi, ketika Tanoryo sedang menulis di buku catatannya, dia mendengar suara teriakan masyarakat di luar. Dia bergegas menuju jendela untuk melihat apa yang terjadi. Sekelompok masyarakat membawa obor dan sesegera mungkin menyiramkan bensin ke rumahnya. Rumahnya dibakar. Tanoryo menangis sejadi-jadinya.

Pagi berasap di kediaman Tanoryo, polisi berkumpul untuk mengemasi tulang-belulang Tanoryo yang meninggal di rumahnya sendiri, Desa Kertajaya. Dalam buku catatan yang tak sempat terjamah oleh si api merah dia menulis “Dahulu orang jahat selalu membunuh korban-korbannya, tapi ketika keadilan ditegakan, para pahlawan berdatangan, keadilan juga telah membunuh orang-orang yang jahat. Lalu apa bedanya? Sama-sama menumpahkan darah. Jengkolisme, kebiadaban yang dilahirkan oleh peradaban”
Gambar Ilustrasi

0 komentar :

Posting Komentar

Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat