Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 01 Februari 2015

[Cerbung] Penantian 1000 Tahun Eps. 9: Mie Instan

Tanggal terbit: 1 Februari 2015

Sebelumnya, Penantian 1000 Tahun Episode 8: Himalaya


Seorang pecundang selalu membandingkan prestasi dirinya dengan prestasi orang lain. Sedangkan seorang pemenang selalu membandingkan prestasi-prestasi dirinya dengan tujuan-tujuan hidupnya. Itulah kalimat yang sering aku ucapkan pada diriku sendiri sebelum aku mengikuti kompetisi apapun. Akan semakin sering aku ucapkan terutama ketika aku kalah.


Aku tidak pernah terlalu peduli -lebih tepatnya sedikit peduli- terhadap peringkat, hadiah, atau sanjungan. Itu hanya bonus kecil dari usaha kita. Ada yang lebih dari itu: pengalaman dan kesempatan kita untuk mengembangkan diri.

Sssstttt.... Tapi apa yang aku sampaikan di atas hanyalah paragraf yang berisi teori saja. Hampa. Pada faktanya, ketika kalah sangat menyakitkan, dan ketika menang akan sangat membahagiakan. Kali ini, aku akan menceritakan hal lain selain cinta, pendidikan dan persahabatan.

Ceritaku berlanjut di Bulan Maret, musim hujan Tahun 2007. 


Episode 9
Mie Instan

"Jika kita berjuang, mungkin kita tidak selalu menang tetapi jika kita tidak berjuang, sudah pasti kita akan kalah!" -Jagjit Singh

Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk mandi. Seolah ingin menyaingi fungsi sang ayam yang selalu membangunkan orang-orang. Aku membuat sedikit kegaduhan di pagi ini. Sedikit membuat kaget kedua orang tuaku. Biasa bangun siang, sekarang bangun pagi. Kedua orang tuaku seperti tak percaya. 
Mungkin di dalam hati, mereka berpikir bahwa anaknya sedang kemasukan roh halus. Atau lebih parah dari itu, mereka menganggapku sedang mengalami somnabulisme, bahasa ilmiah dari tidur sambil berjalan. Oh mamah dan bapak, anakmu ini baik-baik saja. Percayalah dengan apa yang kalian lihat....

Hari ini, hari yang telah lama aku tunggu. Sudah satu bulan lamanya aku belajar mati-matian. Dimulai dari buku biologi SMP, SMA sampai tingkat universitas aku lahap habis. Sudah sebulan lamanya aku bangun setiap jam 2 pagi untuk belajar, dan kembali terlelap pada pukul 5 pagi, lalu bangun kesiangan. Sudah sebulan juga aku diberikan pelajaran tambahan sepulang sekolah. Sehingga mengurangi waktu bermainku. Kurang tepat, bukan hanya waktu bermain, melainkan waktu untuk tertawa.


Hangatnya sinar mentari menerpa setiap inci dari permukaan tubuhku. Hangatnya pasti, terangnya jelas. Sehingga kurasakan tubuhku seperti dihantam oleh sebuah partikel elementer yang bersifat elektromagnetik, mengguncangkan kestabilan elektron dalam tubuhku. Seolah mempolarisasinya menjadi lapisan ekstraterestrial. Meskipun begitu, otakku tidak terengaruh: tetap gulana. Memikirkan apa yang akan terjadi dengan hari ini.


Sesampainya di sekolah aku lihat sudah ada beberapa siswa lainnya yang sudah datang. Mereka adalah siswa-siswi perwakilan sekolah yang akan mengikuti lomba olimpiade sains. Jumlahnya lumayan banyak, karena untuk satu mata pelajaran ada tiga siswa yang mewakilinya. Mata pelajaran yang dilombakan mencakup, matematika, komputer, astronomi, biologi, kimia dan fisika. Tahun lalu, waktu aku kelas X, aku menduduki peringkat 13 dari 60-an peserta olimpiade biologi. Sekarang tentu saja harus lebih baik.


Sudah sekitar 45 menitan aku menunggu. Bu Eli masih saja sibuk bolak balik mengumpulkan anak-anak peserta lomba. Wajahnya tampak tak bahagia, berduka mungkin saja, seperti wajah pada sebuah pesta kematian.


"Ini gimana, kita kurang satu siswa lagi. Dia katanya sakit dan tidak bisa masuk" ujar Bu Eli pada salah seorang guru.

"Ya sudah berangkat saja bu. Daripada terlambat" jawab salah seorang guru.
"Tidak bisa seperti itu, ini kan sudah dibayar biaya pendaftarannya"
"Terus mau ibu gimana?"
"Ini kan bukan hanya masalah uang. Ini masalah pengalaman juga. Jadi mending kita ganti saja orangnya" jawab Ibu Eli dengan ragu. Tampak seperti sebuah saran, tapi bukan sebuah solusi.

Bu Eli lalu memerintahkan agar kami semua berkumpul. Raut wajahnya masih tetap tegang. Wajah Nita dan Legi juga seperti ikut beresonansi dengan wajah Ibu Eli, tampak sama tegangnya. Nita mengikuti olimpiade di bidang Fisika, dan Legi sama sepertiku, di bidang biologi.


"Ada yang bisa memberi masukkan temannya yang pintar di bidang Matematika? Soalnya siswa yang harusnya mewakili sekolah malah sakit" tanya Bu Eli pada kami semua. Seketika semua saling berbisik. Mencoba memberi saran, namun mungkin malu.

"Siapa ya Phi? Kamu ada ide enggak?" bisik Nita padaku.
"Ada" jawabku dengan singkat.
"Siapa?"
"Rahasia ah"
"Ini bukan waktunya merahasiakan itu"
"Takut jadi ghibah"
"Ih.... jangan bercanda"
"Hehe...."

Aku menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa siswa lain tidak ada yang akan berbicara. Lalu dengan sedikit keberanian aku mengacungkan tanganku. "Ibu, bagaimana kalau Afro saja jadi penggantinya?".
"Siapa itu Afro?"
"Afrodit bu. Siswi kelas XI IPA 2. Dia kemarin juara 3 di kelas"
"Ouh.... iya ibu tahu. Yakin dia bisa?"
"Yakin bu. Kadang-kadang dia lebih pintar dari saya bu, kadang-kadang lebih bodoh juga. Hehe.... dikit-dikit pintar, dikit-dikit bodohlah bu...."
"Ya sudah panggilkan orangnya. Kita langsung berangkat ke tempat lomba"
"Biar Legi aja yang panggil bu. Dia kan ketua muridnya"
"Iya Legi silakan panggil Afro. Suruh bawa tas dan alat tulis"

Legi segera bergegas menuju kelas untuk mengajak Afro ikut lomba. Mungkin bukan mengajak, tapi memaksa. Tapi memang Afro tidak punya pilihan lain. Untung sebelumnya aku bilang agar Legi merahasiakan siapa yang mengusulkan Afro untuk ikut lomba.
"Gila kamu" bisik Nita.
"Sudah lama"
"Haha.... habisnya orang yang belum belajar, belum berlatih disuruh ikut lomba"
"Ini kejutann aja"
"Kejutan apa?"
"Hari ini dia ulang tahun"
"Jadi ini bentuk hadiah dari kamu?"
"Iya. Anggap saja demikian. Rahasia ya!"
"Kok rahasia. Kalau kamu mau jadi pacar dia, harusnya dia tahu siapa otak di balik semua ini"
"Hehe.... Aku enggak siap"
"Enggak siap apa?"
"Enggak siap kalau dia jatuh cinta sama aku"
"Itu semua hanya ilusi kamu saja Phi. Enggak mungkin dia jatuh cinta sama kamu!"
"Hehe.... gantungkanlah cita-citamu setinggi langit wahai anak muda"
"Haha.... kayak orang tua saja kamu bilang kayak gitu"


*****

Kutapakkan kakiku ke tanah, tempat dimana mobil sewaan yang aku naiki berhenti. Perjalanan dengan mobil angkot sewaan ini terasa begitu singkat. Mungkin inilah bukti dari hukum relativitas Einstein. Waktu akan terasa lama bila ditunggu, dan akan terasa cepat bila dijalani.

Kulemparkan kornea mataku selepas-lepasnya menelanjangi setiap sudut tempat olimpiade ini dilaksanakan. Sebuah gedung tua, sempit, tapi tertata rapi. Dari depan dapat aku baca tulisan 'SMA Negeri 1 Subang'. Tempat ini seperti Colloseum di Roma. Di dalamnya tercium bau keringat kekalahan dan bau air mata kemenangan. Tercampur aduk, membentuk aerosol yang sulit dipisahkan.

Aku berjalan menuju meja registrasi. Bapak penjaganya memberikan kartu tanda pengenal. Aku isi kartu tersebut dengan nama, bidang lalu nama sekolah. Kami diarahkan untuk memasuki ruangan yang telah diatur sebelumnya. Dalam momen ini, kami semuanya terpaksa berpisah. Sebelum berpisah, sempat aku berbisik ke Nita bahwa aku akan menang. Terdengar begitu optimis, walau aku tahu Nita mengabaikanku.

Sebelum memasuki ruangan, aku masukkan kartu tanda pesertaku ke dalam tempat sampah. Entah apa alasannya. Aku tidak suka saja dengan kartu tanda pengenal itu yang sepertinya asal-asalan dibuat dan tanpa fungsi.

"Baik, Bapak ingatkan sekali lagi. Jangan lupa berdoa, tulis nama kalian dan isi dengan cermat. Ingat jika jawaban yang benar dapat nilai 3 poin dan jawaban yang salah dikurangi 1 poin. Jumlah soalnya 100 buah dan dikerjakan dalam waktu 90 menit" ujar Bapak pengawas sambil membagikan lembar jawaban.

Waktu untuk mengerjakan sudah dimulai. Kulihat sekelilingku tampak sibuk dengan orang-orang yang mengerjakan. Aku tidak terlalu peduli dengan waktu, karena aku tahu soal-soalnya sangat susah. Jadi waktu tidak terlalu berpengaruh. Atau mungkin juga doa, dari 120 peserta semuanya berdoa agar mendapatkan nilai bagus. Apakah semua akan terkabul? Mungkin inilah caranya Tuhan menunjukkan kebesarannya.

Kukeluarkan air minum botol, meminumnya, menyerut pinsil, berdoa, lalu tersenyum. Kukerjakan soal dari nomor terakhir. Inilah kebiasaanku yang cukup nyeleneh. Setiap mengerjakan 2 soal pasti akan aku minum seteguk air. Begitu seterusnya sampai waktu habis. Sesekali kulihat sekeliling, semuanya tampak gusar. Terkadang juga aku mendengar ada siswa yang menyebut asma Allah, seperti Astagfirullah atau Allahuakbar. Itu semua membuat aku cekikikan. Aku tahu apa yang membuat mereka seperti itu. Ini karena soalnya memang sulitnya tingkat dewa. Mungkin juga mahasiswa dan guru banyak yang tidak bisa mengerjakan, bahkan mungkin juga alien, iblis dan malaikat bakalan kesulitan mengerjakannya.

Oh iya, bagaimana keadaan Afrodit di sana ya? Pasti dia mengalami hal yang sama. Depresi dan hampir gila karena soal-soal olimpiade. Apalagi dia belum belajar. Aku jadi ingin tertawa. Eh, tapi kenapa aku memikirkan Afrodit? Nasibku saja sekarang tidak baik. Mungkin aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ya, mungkin....
(Bersambung)

Gambar Ilustrasi

0 komentar :

Posting Komentar

Ikutlah Berpartisipasi di www.RofaYuliaAzhar.com. Cukup dengan Memberikan Tanggapan atas Artikel Kami. Agar Kami dapat Meningkatkan Kualitas Artikel yang Kami Buat